Langsung ke konten utama

Buku Googling Iman dan Catatan Kecilnya


Woks

Kita sudah menduga sejak berabad-abad silam tentang perkembangan sastra dan karya-karya monumental lainya begitu cepat berubah. Perubahan itu terasa karena corak dan gaya telah banyak dilahap oleh perkembangan zaman. Dulu saat dunia gelap gulita (dark age) dan manusia belum menemukan cahaya (knowledge) pencerahan yang Barat menyebutnya aufklarung. Saat ini dugaan-dugaan itu nampak sudah hadir di depan mata kehidupan terasa begitu instan. Saat surat harus terkirim dengan media kurir manusia atau burung tentu akan butuh waktu lama sampai. Tapi lihat saat ini kecanggihan teknologi menjawab semuanya. Tinggal klik semua beres. 

Hukum dunia sudah terlanjur bias di satu sisi berdampak positif di sisi yang lain kita akan menerima dampak negatifnya. Begitulah efek dari perkembangan sains dan teknologi. Ulasan setidaknya berisi kritik dan rekonstruksi pikiran terkait modernitas teknologi bisa kita simak lewat buku Googling Iman ini. Karya pertama dari Sabil ini tentu membuat publik sastra terhentak, kaget sekaligus terdiam. Membaca setiap frasa yang membuat kita menyadari bahwa kehidupan kita saat ini telah teraleniasi oleh dunia maya. Percis seperti dalam pengantar buku ini. (hlm iii)

Kowim Sabilillah begitu nama lengkapnya telah berhasil membuat satu narasi berisi kiritik dan penyadaran kepada kita lewat puisi bahwa saat ini jiwa kita dalam bahaya. Dunia online tanpa terasa telah mengambil alih separuh lebih kehidupan. Bayangkan saja hampir setiap hari orang-orang bercumbu dengan gadget seolah-olah tanpa gawai itu hidup terasa hampa. Hal inilah yang dalam disiplin ilmu psikologi berkaitan erat dengan nomophobia alias perasaan takut ketika jauh dari gadget. Ego narsistik pun tak kalahnya menggurita mengakar menjerat seluruh tubuh hingga manusia tidak bisa melepaskannya dari sindrom kecanduan kamera.

Fenomena kacanduan gawai, medsos, internet, kuota, koneksi wifi, game, update status, selfitis menjadi sasaran utama puisi ini memberi pencerahan. Betapa tidak, orang-orang saat ini lebih tampak resah saat mereka diabaikan di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Orang-orang mendadak menjadi introvert dan autism ketika mereka merasa lebih nyaman dengan dunia onlinenya. Sehingga phubbing menjadi istilah untuk menggambarkan betapa dekatnya manusia dengan ponsel dan sosial media bahkan ibarat keluarga mereka bersaudara. Mereka menjadi khusyuk di maya dan nampak abai di dunia nyata.

Rindu sebagai sebuah rasa pun kini berubah jadi mati rasa. Ia menjelma menjadi kepura-puraan hingga ketidakbersatuan sangat mungkin terjeda. 
 Terjeda dari apa? Dari jasad yang tak bersua // Lalu diri? Diri tetap terkoneksi // melalui layar kaca seukuran jari. (hlm 2)

Bahkan Sabil menilai bahwa zaman ini adalah pengulangan neo-jahiliyah. Orang-orang memang bukan memuja berhala tapi uang dan kuota. 
Oh Tuhan! zaman jahiliah adalah dua rupa// Dari para pemuja berhala// Dan manusia yang menghamba sosial media. (hlm 42)

Sabil memang pandai merangkai kata termasuk membaca suasana. Ia melihat orang-orang di sekelilingnya tengah mengalami masalah pelik dengan gawainya. Sebagai kaum muda Sabil memang kritis ia bahkan berharap agar orang-orang sadar bahwa ada yang lebih kudus ketimbang selalu bersama gawai.

Di bagian akhir yang sebenarnya bukan sebuah penutup atau kesimpulan Sabil menarasikan sebuah pesan agar kita lebih mementingkan hal yang esensial. Hidup kita terlalu dangkal karena sejak modernitas hadir kita menjadi manusia yang terseok-seok melihat kulit daripada inti, tenggelam dalam like komentar, terpatri oleh kesenangan fana, terpasung jiwa dan bahkan matinya cinta. 
Kiamat bukanlah bencana// Tetapi hancurnya norma// Dan wafatnya cinta. (hlm 87)

Saya melihat banyak pengaruh dari gaya berpuisi Sabil ini ambil contoh pada verse 1 larik puisinya mengingatkan kita pada sabda Gus Dur "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, jika engkau mampu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu". Mungkin inilah yang disebut sebagai keterpengaruhan karena hasil bacaan tertentu. Secara lebih jauh ketika ditelaah puisi Sabil ini juga banyak corak yang dipengaruhi kredo filsafat serta tokoh sekaliber Nizar Qabbani, Ali Ahmad Said (Adonis). Para penyair Timur Barat itu seolah-olah merasuk ke jiwanya walau sesaat.

Saya juga mencatat bahwa puisi Sabil ini tidak lebih dari sekadar othak-athik-manthuk ala Joko Pinurbo. Puisi yang seninya lewat kata-kata terbalik. Puisi itu tidak hanya sekadar rima yang akhiranya harus kaku dan ditentukan oleh pakem tapi puisi itu lebih dari segala hal yang kadang kita sendiri tak memahinya. Di mana-mana penyakit penyair itu demikian. Atau paling sering terjadi karena terlalu hiperbolik pada setiap kata. Padahal kata-kata tidak selalu melulu bermetafora dan seharusnya ia memang harus berdiri sendiri.

Saya sadar bukan seniman kata yang tidak boleh menghakimi para penyair, sebab pekerjaan itu keliru. Saya juga tidak begitu banyak menyerap ilmu HB Jasin sebagai paus dan kritikus sastra bangsa ini. Tapi setidaknya kita memahami bahwa kata-kata itu rapuh, maknanya sangat multitafsir. Yang abadi hanyalah imajinasi. Maka tak salah jika Einstein sangat menghargai betapa mahalnya imajinasi.

Terakhir saya harus mengakui sangat menikmati perayaan puisi Sabil ini. Seperti namanya Sabil yang berarti pejalan ia masih menganggap karyanya sebagai pembelajaran. Sehingga esok kita masih bisa menunggu anak muda ini akan melahirkan karya terbarunya. Teruslah berkarya, Presiden Republik Rindu.

the woks institute l rumah peradaban 23/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...