Langsung ke konten utama

Belajar Manasik Haji bersama LPI Al Azhaar Tulungagung




Woks

Kemarin Rabu, 13 Juli 2022 saya berkesempatan belajar manasik haji bersama seluruh santri dari LPI Al Azhaar Tulungagung. Setelah sebelumnya belajar di sekolah bersama santri SD, kini bertempat di lapangan Ringinpitu kami langsung praktek secara keseluruhan santri.

Pagi udara begitu sejuk saya langsung bergegas menuju lokasi, suasana ternyata sudah macet. Saya langsung memakai pakaian ihram yang sebelumnya sudah berniat haji dari rumah. Setelah itu kami langsung berkumpul membentuk barisan berleter U, untuk mengikuti seremonial. Acara pun di mulai dan dibuka dengan bacaan ummul Qur'an surah al Fatihah. Selanjutnya acara sambutan-sambutan. Sambutan pertama disampaikan oleh Pengasuh PP Al Azhaar Tulungagung, KH. Imam Mawardi Ridwan, Kepala Kantor Kemenag Kab. Tulungagung, H. Muhadjir dan Pembimbing Haji Al Azhaar, KH. Lukman Hakim.

Dalam sambutannya Abah Imam mengatakan bahwa Lembaga PP Al Azhaar Tulungagung ini merupakan yang pertama menyelenggarakan pelatihan manasik haji setelah dua tahun vakum akibat pandemi. Acara seperti ini sangat penting khususnya bagi anak-anak karena harus dikenalkan sejak dini pada salah satu rukun islamnya. Kita juga belajar bagaimana melihat keluarga terbaik yaitu yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, Ismail dan Sayyidah Hajar. Betapa mereka adalah sosok yang penyabar, ikhlas, tawakal hanya kepada Allah. Kita juga berdo'a walaupun di sini hanya sekadar belajar semoga esok bisa berangkat haji asli mengunjungi Makah Madinah.

H. Muhadjir dari Kemenag Kab. Tulungagung juga memberikan sambutannya bahwa kami dari kementerian akan selalu siap sedia ketika orang tua wali santri yang ingin mengurusi berkaitan dengan ibadah haji. Kementerian akan sangat terbuka apalagi dengan jamaah yang tergabung dalam keluarga Al Azhaar ini. Kata beliau ibadah haji ini harus diniatkan sejak dini karena rukun Islam ke-5 adalah salah satu dambaan dan sebagai penyempurna dari rukun yang lainya.

Selanjutnya sambutan sekaligus khutbah sebelum keberangkatan calon haji menuju tempat prosesi dari KH. Lukman Hakim. Beliau memberikan keterangan yang sangat banyak sekali seputar ibadah haji. Pertama, ibadah haji saat ini dan dulu tentu berbeda maka dari itu sangat perlu untuk berdoa dan mendambakanya. Maka jika kita punya rezeki segeralah minimal disisihkan untuk ditabung dan daftar. Kedua, saat ini ibadah haji masa tunggunya makin lama luar biasa maka dari itu satu-satunya hal yang dapat menjebol segala kondisi itu hanyalah lewat do'a misalnya kita sering diajari oleh para guru dalam aurad dzikir jama'i, "Allahumma ya rabbana cukupono luberono, beras akeh duit akeh, kanggo ngaji lungo haji, barokahe nabi wali". Dengan do'a itulah setidaknya menjadi wasilah kita agar dapat dipanggil ke sana.

Ketiga, prosesi ibadah haji baik latihan maupun secara langsung sesungguhnya mengajari kita untuk belajar sabar, ikhlas, tawakal seperti halnya Abah Imam menyebutkan kita harus mencontoh keluarga Nabi Ibrahim. Kesabaran Nabi Ibrahim sungguh luar biasa maka dari itu pantaslah beliau menjadi kekasihNya. Maka perlulah kita mencontoh beliau sebagai teladan betapa ikhlasnya keluarganya.

Keempat, selain membaca talbiyah, "labaikallah humma labaik, labaikala syarikala kalabaik" kita juga diperkenankan untuk membaca kalimat lain. Intinya tidak ada satu proses pun selama di baitullah yang lidah ini basah karena dzikrullah. Di sinilah selain kita menghayati setiap peristiwa melalui keluarga Nabi Ibrahim kita juga akan napak tilas kisah heroik penuh haru dari Nabi Adam dan Ibunda Hawa.

Kelima, beliau memberikan refleksi bahwa ada orang berhaji menggunakan visa furoda alias jalur eksklusif akan tetapi ketika di sana mereka ditempatkan di maktab yang jaraknya jauh dari Masjidil Haram. Setelah itu mereka merasa kecewa dan rugi padahal jika dibandingkan harga 250 juta dengan pahala haji masih tak ada apa-apanya. Bisa dibayangkan uang 250 juta apakah bisa menebus dosa, meninggikan derat di sisi Allah, membeli kesempurnaan ibadah haji rasanya belum cukup. Oleh karenanya kita harus sadar diri bahwa apapun yang dikeluarkan untuk ibadah haji diniatkan lillahi ta'ala.

Setelah khutbah usai Abah Lukman langsung membaca do'a dan memberangkatkan jama'ah di mulai dari kelas paling kecil hingga kelas besar. Prosesi ini diawali dengan niat ihram haji, melaksanakan tarwiyah (merenung) di Mina, wukuf di padang Arafah, mabit (bermalam) di Muzdalifah, melontar jumrah aqabah lalu tahallul awal, thawaf ifadah, sa'i dan di akhiri dengan minum air zam-zam. Urutan tata cara ritual ibadah haji tersebut sebenarnya sangat fleksibel disesuaikan dengan tradisi masing-masing pembimbing haji. Akan tetapi dalam pembelajaran kali ini kita mengikuti panduan yang ada. Setelah semua usai akhirnya acara pun ditutup dengan makan bersama dan peserta diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing.


Kaji Woko Utoro

Dalam prosesi yang panas dan melelahkan itu saya benar-benar menikmati sejak awal pemberangkatan hingga penutup. Di sanalah tergambar dengan jelas nilai filosofis yang terdapat dalam setiap ritualnya. Misalnya betapa kita gamang apakah mampu ketika mengingat momen bingungnya Nabi Ibrahim ketika diperintah menyembelih putranya. Lalu ketika lontar jumroh di sana kita berupaya untuk melempari syahwat syaitoniah dalam batin yang dalam peristiwa Nabi Ibrahim supaya ragu pada ketetapan Allah. Maka dari itu kita berupaya sekuat tenaga untuk melawan tipu muslihat syaitan. Lalu saat thawaf betapa kita selalu merindu baitul atiq peninggalan para nabi tersebut dan kita mengingat momen arif nan bijaksana ketika Nabi Muhammad SAW meletakan hajar aswad bersama para kepala suku di Makah. Kita juga akan selalu mengingat perjuangan luar biasa Sayyidah Hajar ketika berlari kecil (sa'i) untuk menemukan air dan akhirnya lahirlah sumur zam-zam.

Demikianlah, sekian kisah kami nan sederhana. Semoga esok bisa berziarah ke Makah Madiah atas ridho Allah kepada kita semua.

the woks institute l rumah peradaban 14/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...