Langsung ke konten utama

Pelatihan Menulis Esai dan Jurnal Ilmiah bersama Mahasiswa Genbi



Woks

Salah satu fungsi dan kewajiban dosen adalah pengabdian. Ibu Novi yang memiliki program pengabdian tersebut lalu mengajak kami dalam salah satu kegiatan atas kerjasama Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam dan dosen. Kegiatan pengabdian itu adalah pelatihan menulis esai dan jurnal ilmiah dengan peserta dari mahasiswa Genbi. Mahasiswa Genbi adalah mereka yang mendapat beasiswa dari Bank Indonesia.

Acara pelatihan menulis ini menggagas tema, "Ucapan Mensementarakanmu, Tulisan Mengabadikanmu" dengan menghadirkan Bapak M. Alhada Fuadillah Habib, S.Sos, MA. (seorang penulis jurnal sekaligus penjaga gawang di 2 jurnal milik FEBI dan saya sendiri (seorang mahasiswa yang pernah juara menulis esai tingkat Nasional). Acara ini bertempat di ruang AKS lantai 2 Gedung KH. Saifuddin Zuhri. Acara ini dimulai sejak pukul 10:15-12:00 wib.

Pada sesi pertama saya menjelaskan bagaimana cara membuat esai yang selesai. Jika Bapak Dr. H. Dede Nurrohman, M.Ag (Dekan FEBI) dalam sambutannya menyebutkan bagaimana cara membuat esai yang baik. Baik itu esai maupun artikel jurnal tentu sama-sama memiliki kapasitas penting bagi proses akademik mahasiswa. Lebih lanjut saya menjelaskan bahwa esai adalah tulisan atau karangan yang memuat opini penulis. Tentu esai itu terdiri atas esai populer dan esai ilmiah. Perbedaannya sederhana yaitu soal panjang pendeknya tulisan, memuat literatur serta gaya bahasa. Jika esai populer tentu ditulis secara deskriptif dan mengalir bahkan boleh mengandung unsur sastra.

Saya juga menjelaskan sekilas bahwa esai memiliki struktur sederhana yaitu terdiri dari pendahuluan, isi dan penutup. Pendahuluan ditulis berdasar rumus dari umum ke khusus sedangkan di bagian penutup justru sebalik. Pada bagian ini saya tidak menjelaskan banyak hal karena waktu terbatas. Saya hanya memberikan pesan kepada peserta untuk rajin membaca dan rajin menulis. Dua kerajinan itulah yang dihasilkan bukan dari genetika sejak lahir tapi harus diusahakan sejak dini. Ingin memiliki kemampuan menulis esai tentu salah satunya harus rajin mencoba mengikuti perlombaan yang tujuannya tak lain untuk menambah jam terbang dan kualitas diri.

Pada sesi kedua Pak Hada menjelaskan mengenai jurnal ilmiah serta bagaimana cara untuk mensubmit artikelnya di sana. Beliau yang alumnus dari UNAIR dan UGM tersebut tentu sangat piawai dalam menjelaskan seputar jurnal ini. Selain sebagai pengelola di An Nisbah dan Ar Rehla beliau juga seorang yang produktif menulis jurnal bahkan beberapa karya buku dihasilkan beliau. Beliau juga tercatat sebagai seorang yang pernah bekerja untuk kementerian PUPR.

Pak Hada menjelaskan seputar penulisan jurnal ilmiah pertama bagaimana menemukan topik. Caranya tentu tidaklah sulit kita cukup bersikap kritis dan mengambil jarak terhadap fenomena di masyarakat, membaca laporan terdahulu, membaca dan mengamati medsos, serta diskusi meminta saran orang yang lebih berpengalaman. Termasuk topik yang baik itu tentunya bermanfaat bagi masyarakat.

Kedua, membuat latar belakang yaitu terdiri atas gambaran umum, kondisi yang seharusnya terjadi, kondisi yang senyatanya, penegasan di antara kondisi tersebut dan penjelasan masalah (di dalamnya ada rumusan masalah). Untuk rumusan masalah yaitu terbagi menjadi deskriptif dan eksplanasi. Ketiga, pada baian teori seharusnya tidak sekadar digantungkan melainkan menjadi landasan pada tulisan, teori dan para ahli minimal 10 tahun terakhir, dikaitakan dengan topik dan menjadi dasar membangun hipotesis. Keempat, yaitu temuan dan analisis data. Lalu kesimpulan yaitu jawaban singkat dari rumusan masalah.

Demikianlah sekilas acara pelatihan menulis bersama mahasiswa Genbi. Tentunya saya secara pribadi merasa terhormat bisa diundang di sini sekaligus mendapat banyak ilmu dan pengalaman menarik dalam acara ini. Kami berharap acara serupa bisa menjadi ikhtiar produktif untuk mengasah skill mahasiswa dalam menulis esai dan jurnal ilmiah. Acara ini pun berakhir dan ditutup dengan foto bersama.

the woks institute l rumah peradaban 29/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...