Langsung ke konten utama

Tali Asih : Catatan Pernikahan Mas Fauzi Ridwan




Woks

Kemarin Kamis, 14 Juli 2022 saya berkesempatan meluangkan waktu hadir dalam momen kebahagiaan seorang sahabat, Mas Fauzi Ridwan atau Mas Fau biasa saya menyapa beliau. Mas Fau melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya yang lama diidamkan yaitu Mba Lina alias Mba Izzatul Amalina dan ternyata berasal dari Joho kecamatan Kalidawir.

Saya berangkat sekitar pukul 3 sore tepat ketika suara adzan pertama dikumandangkan. Walau sempat diguyur hujan di Trenceng saya pun menembusnya dengan semangat. Saya merasa perlu untuk hadir di acara Mas Fau dengan setidaknya 2 alasan: pertama, saya punya waktu dan kedua, saya sehat tidak sedang sakit. Bayangkan waktu banyak uang banyak tapi sakit rasanya jangankan untuk pergi jauh untuk makan saja tak enak.

Singkatnya saya mengenal Mas Fau tentu sudah lama yaitu sejak 2015 bergabung sebagai mahasiswa ForMaSi. Sedangkan dengan Mba Lina saya hanya mendengar dari teman bahwa ia seorang hafidzah santri Kyai Marzuqi PPBUQ Kaliwungu Ngunut. Mas Fauzi seorang pegiat literasi sedangkan Mba Lina seorang pegiat qur'an. Dua orang ini memang unik dan demikianlah sifat jodoh dalam bahasa KH. Ihya Ulumuddin bahwa Allah itu memiliki sifat sunaiyah yang berarti mempersatukan perbedaan. Jadi jika dilogika, "Kok bisa jelas-jelas berbeda tapi bisa bersatu" dan itulah faktanya semua karena Allah.

Saat sampai di Salakkembang saya langsung kena bahan gojlokan karena di sana ternyata ada keluarga Pak Yohan dan beberapa guru PPHM Ngunut. Dari situlah akhirnya para bullyers menyerang dan saya pun hanya ketawa-ketawi saja. Yang saya pikirkan memang salah satunya bahwa semakin kemari populasi jomblo semakin berkurang dan saya hanya bisa berdo'a sambil senyam-senyum makan jenang. Saya selalu berpikir bahwa jodoh adalah persoalan lingkaran, jika tidak lingkaran pertemanan, kerja, sekolah, organisasi, pasti di luar itu dan jumlahnya sangat minim. Maka dari itu jodoh tidak mudah ditebak, tidak bisa dicepat lambatkan, atau jauh dekat seumuran atau tidak, semua bisa berpotensi. Dan potensi itulah masih bersifat misteri dalam catatan rahasiaNya.

Salah satu hal menarik dari pernikahan Mas Fau setidaknya selain makanannya yang prasmanan saya mencatat ada 3. Pertama, soal souvernir yang berupa buku. Saya tentu sudah tau iti'kad Mas Fau memberikan bukunya kepada para Mbecekers yaitu dengan tujuan anti meanstream. Buku Kenthong Shubuh (2020) yang beliau tulis hasil refleksi sehari-hari lalu dicetak sekian eksemplar memang sengaja dijadikan souvernir selain sebagai cendramata juga sebagai bahan bacaan. Bahkan Prof. Ngainun Naim mengistilahkannya dengan pengantin literat alias pengantin yang memberikan buku sebagai amunisi peradaban dan ini merupakan model.

Kedua, souvernir berupa dua buah sisir yang terdiri dari sisir kerep dan sisir ombo. Sisir kerep atau yang lebih padat berarti kedekatan itu sangat perlu untuk dibangun lebih lagi antara dua keluarga besar. Memang sejak dulu demikian bahwa menikah bukan soal dua manten tapi soal dua keluarga yang bersatu. Sisir ombo atau yang lebih longgar adalah bagaimana pun juga keluarga itu sangat fleksibel terlebih dengan adanya komunikasi. Jadi jika dalam membina rumah tangga menemui masalah jangan sampai renggang dan selalu dikomunikasikan. Tidak hanya itu sisir tersebut berarti, "an nikahu miftahul rizki" bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Satu lagi bahwa sisir itu berfungsi sebagai merapihkan rambut. Secara filosofis berarti kehidupan rumah tangga sejatinya adalah merapihkan kehidupan yang semula sendiri kini berdua dan seterusnya. Termasuk terus belajar dalam memperbaiki diri.

Ketiga, mereka sama-sama seorang magister. Jika Mas Fau seorang M.Ag dan Mba Lina adalah seorang M.Pd. Keduanya paham betul bahwa pendidikan itu sangat penting dan lebih penting lagi adalah mendidik diri sendiri untuk menghadapi hari esok. Pendidikan bagi keduanya bukan halangan untuk bersatu justru lewat pendidikan lah seseorang bisa menjadi lebih beradab.

Terakhir terus ada yang tanya lantas jajan itu maknanya apa Mas? saya jawab, "enak". Kabeh kok senengane dimakna-maknai wkwk.

the woks institute l rumah peradaban 15/7/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...