Langsung ke konten utama

Tuhan Yang Kita Temukan




Woks

Sedikit orang yang berpikir tentang kehidupan padahal banyak hal yang seharusnya masuk tataran eksistensial. Tapi bagaimanapun juga semua dalam hidup adalah tentang mengurai tanya. Misalnya beberapa hari lalu kawan kami hidup dirundung tanya, "Di mana kita menemukan Tuhan, seperti apa saat-saat kita bersamanya".

Pertanyaan seorang kawan itu bukan tanpa dasar melainkan bertumpu pada filsafat eksistensialisme dari mana manusia berasal dan untuk apa di balik penciptaannya. Pertanyaan itu tak lain karena ketidakpuasannya mendapat jawaban yang monoton. Misalnya untuk apa shalat? pasti rerata jawabannya adalah agar terhindar dari neraka. Padahal berabad-abad lamanya jika orang beribadah cuma karena takut neraka, sang sufi perempuan Sayyidah Rabiah Adawiyah bergegas ingin memadamkan api neraka karena menjadi sebab orang takut tidak menyembah padanya. Termasuk ia ingin membakar surga dengan alasan orang beribadah hanya bertujuan padanya.

Saat ini kajian mengenai Tuhan dan agama memang sangat familiar bahkan kita dengan mudah mendapati di layar kaca. Dulu persoalan agama dan Tuhan sangatlah privat tapi saat ini seolah manusia ingin tahu segalanya. Berkaitan dengan agama memang sangat menarik lebih lagi selalu menjadi isu yang laku keras untuk dibahas. Salah satu hal menarik menjadi tanya adalah untuk apa shalat jika Tuhan tak membutuhkannya. Pertanyaan ini pun berkorelasi dengan tak usahlah serius beragama karena selama ini agama kita hanyalah warisan bukan pencarian.

Proses pencarian identitas karena agama warisan memang sering menjadi perbincangan hangat. Banyak di kalangan kita yang seolah agnostik yaitu tidak meyakini sepenuhnya pada institusi agama sebagai sarana menghamba pada Tuhan. Atau bahkan atheis cuma karena ikut-ikutan trend. Mereka beragama tidak serius karena alasan ibadah yang dilakukan tak lain cuma sebagai rutinitas biasa. Rasanya ibadah di zaman akhir hanya sekadar formalitas belaka dan kehilangan sakralitasnya. Umumnya keraguan ini berasal dari mereka yang baru belajar filsafat dengan syariat yang lemah. Atau belajar tasawuf dengan menganggap ilmu syariat tidak penting.

Dari pernyataan tersebut di atas justru malah menjauhkan kita dari Tuhan. Padahal keraguan harus dibayar dengan proses pencarian nan serius. Tuhan ditemukan bersama mereka yang tersakiti, Tuhan ditemukan bersama mereka yang dekat kepadanya dan Tuhan itu ada dalam ibadah. Jika pencarian Tuhan dengan menjauhi ibadah ini logika yang aneh. Bagaimanapun juga sekalipun kita tak perjumpa Tuhan di bumi tapi yakinlah ia selalu bersama kita bahkan sampai di alam akhirat nanti.

Proses pencarian Tuhan bukan dari buku-buku tapi dari kitab sucinya. Kitab suci terutama al Qur'an telah menjadi panduan untuk menemukanya. Tinggal kita saja yang belum mengetahui caranya. Oleh karena itu syarat multak yang harus ditempuh adalah dengan mengaji, bertanya dan dekati kaum arifin. Manusia pilihan Tuhan di muka bumi tersebar banyak di mana-mana akan tetapi Tuhan merahasiakannya tak lain agar kita mencari. Proses pencarian itulah yang tak akan selesai dalam sekejap. Justru dalam hidup inilah adalah tentang pencarian sepanjang masa. Teruslah mencari tapi lihatlah kisah Ibrahim, teruslah bertanya tapi bacalah kisah Musa. Merekalah di antara kisah yang harus kita telusuri.

Cuma karena Tuhan belum ditemukan lantas kita mogok menyembahnya, itu aneh. Para pecinta tak akan pernah bosan terus mendekat sekalipun pesan tak berbalas. Tuhan lebih tahu dari apa yang menjadi keraguan hambanya. Hal ini hanya persoalan waktu. Nanti akan tiba saatnya sampai karena Tuhan sendiri telah berjanji bahwa ia akan selalu bersama orang-orang yang sabar. Perjamuan bersama Tuhan di muka bumi padahal sudah bisa diakses saat ini yaitu bersama mereka yang lemah, bersama para ahli dzikir, di dalam harta orang kaya dermawan, orang tua nan bijak, pemuda shaleh, anak kecil yang belum memiliki dosa, orang miskin yang sabar, orang sakit yang ikhlas serta banyak lagi. Lantas jika sudah demikian masihkah kita bertanya tentang diriNya. Bukankah kita adalah gelas bagi luasnya samudera.

the woks institute l rumah peradaban 31/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...