Langsung ke konten utama

Jurusan Tasawuf Psikoterapi Riwayatmu Kini





Woks

Beberapa hari lalu saya dicurhati seorang teman adik kelas di jurusan Tasawuf Psikoterapi (TP). Curhatan itu berisi keluh kesah selama masa perkuliahan. Biasa tradisi keluh kesah selalu muncul di awal dan menjadi bumbu-bumbu yang mewarnai perjalanan menempuh gelaran akademik. Tapi sayang curhatan itu merupakan kabar tak sedap bahwa jurusan kami terancam gulung tikar.

Entah ini disebut hiperbola atau hanya sekadar kabar burung yang diterpa angin. Yang jelas kisah keluhan tersebut sudah ada sejak masa kami kuliah bahkan saat jurusan ini pertama didirikan sekitar 12 tahun yang lalu. Yang sering menjadi bahan gunjingan keluh kesah adalah soal akreditasi, mata kuliah, kurikulum, dana pengembangan, output alumni, gelar akademik, bidang kerja, hingga masa depan.

Keadaan itu diperparah dengan ketidakjelasan pengelola dalam memproyeksikan mahasiswa untuk melakukan programnya. Semrawutnya penjadwalan mata kuliah, PPM, sempro, hingga sidang menambah kebingungan mahasiswa. Jurusan yang semestinya berbasis skill terapi justru lebih mengarah kepada keilmuan psikologi Barat dan kini justru singgah di dunia pendidikan. Bahkan beberapa kali di tengah kebingungan itu pihak jurusan meminta mahasiswa untuk membuat program pemberdayaan. Mungkin terdengar aneh akan tetapi faktanya demikian. Lantas siapa yang salah dalam hal ini?

Sebenarnya tidak ada yang salah. Dalam hal ini kita saja yang belum kompak. Jangankan di jurusan TP, di jurusan apapun mengalami stagnasi yang sama. Mayoritas akademisi kita masih setengah hati dalam mengelola jurusan. Belum lagi ditambah serangkaian administrasi yang ruwet menambah sulitnya perkembangan sebuah jurusan. Hal lain yaitu tidak adanya tenaga ahli yang kompeten di bidangnya sekaligus fokus dalam mengelola jurusan. Jika saja antara mahasiswa dan dosen memiliki kerja kolaborasi pasti bukannya tidak mungkin jurusan akan berjalan dengan baik.

Selama ini kebijakan dari yang memiliki otoritas masih nampak setengah hati. Lebih lagi jika ditanya mengenai arah dan kebijakan yang berkaitan dengan orientasi jangka panjang. Jurusan hadir tidak hanya sebagai ladang percobaan melainkan sebagai sarana belajar, pengembangan dan penelitian. Dengan hal itulah cara agar jurusan tetap produktif dan turut berkontribusi kepada masyarakat.

Kita masih kesulitan untuk menentukan formulasi sebagai jurusan yang memiliki ciri khas. Misalnya di UIN Walisongo jurusan TP diarahkan untuk mengkaji terapi sufistik sosial lewat dzikir dan tenaga dalam, di Surakarta, Kudus dan Purwokerto fokus pada reiki dan totok akupuntur, di UIN Bandung fokus pada konseling dan terapi spiritual utamanya syifaul qolbi, di UIN Surabaya dan STAI Al Fitrah mengembangkan tasawuf Nusantara sebagai metode dzikir kaum urban, di IAIN Kediri berfokus pada terapi psikosufistik berbasis kearifan lokal. Nah di Tulungagung ini tinggal menentukan saja ke arah geraknya. Jika memang ke terapi sufistik, atau herbalogi atau klinis maka semuanya memerlukan rencana tindak lanjut yang tepat. Selain keilmuan kita juga harus melihat sumberdaya yang ada dan harus bisa dimaksimalkan.

Jika saja pihak pengelola mau terbuka dan membuka diri minimal menjalin komunikasi dengan mahasiswa, alumni dan pihak-pihak terkait pastinya jurusan tidak mandek di tengah jalan. Sebenarnya persoalan ini tidak bisa dibiarkan dan memang perlu mencari solusinya. Mahasiswa bukan hanya diyakinkan soal output dari jurusan ini akan tetapi lebih dari itu bagaimana jurusan bisa bertanggungjawab atas segala hal yang telah menjadi kebijakan. Karena bagaimanapun mahasiswa juga memiliki hak untuk menggunakan fasilitas berupa standard mutu kurikulum yang baik.

Menurut saya jika jurusan hanya tetap statis tanpa mempertimbangkan faktor eksternal maka sampai kapanpun kemajuan tak akan tercapai. Seharusnya masalah kurikulum harus didiskusikan secara serius misalnya berbasis praktikum skill atau memang literatur seperti mengkaji kitab. Soal dunia kerja pembenahan sangat perlu misalnya harus bekerjasama dengan pihak terkait terutama yang memahami psikologi. Yang saya alami selama ini jurusan masih abai di mana mahasiswa hanya diminta menyelesaikan perangkat admistrasi sedangkan soal pembekalan lainnya seperti skill dan keilmuan sangatlah minim. Persoalan nan kompleks ini memang tidak bisa dipecahkan hanya sekadar diskusi. Mungkin saja kita membutuhkan bertemu di berbagai angkatan untuk melingkar sama-sama merumuskan, menentukan arah gerak, melihat dari lapangan dan mau open minded terhadap perubahan. Dengan begitu segala masukan akan ditampung dan menjadi catatan penting untuk masa mendatang.

Jangan sampai pola yang sama diberlakukan di medan yang jelas-jelas sudah berbeda. Jurusan ini unik sebaiknya merawat ladang luas tersebut dengan berpikir matang dan jauh dari rasa tendensius. Niatkan sejak awal untuk belajar dan ingin memberikan kontribusi terbaik minimal bagi diri sendiri dan sampai masyarakat. Tujuannya sederhana yaitu agar alumni di jurusan ini tidak dipandang sebelah mata syukur-syukur bisa berdaya saing dengan jurusan lainnya. Mahasiswa TP tidak boleh minder justru dengan semangat keilmuan dan skill kita bisa menunjukkan kepada khalayak bahwa jurusan ini bisa diperhitungkan.

the woks institute l rumah peradaban 25/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...