Woks
Kisah sekolah dengan rasa pabrik masih terus berlanjut. Persaingan antara konsep dan gagasan yang menjadi andalan di era modern masih berkuasa menarik wali siswa. Akibatnya di lain pihak kita dapati sekolah yang tutup karena ketidakmampuan dalam beradaptasi dan di sisi yang lain ada sekolah yang begitu laris. Siapa yang salah dalam hal ini apakah sistem pendidikan nasional yang cenderung tertutup dan usang atau pihak swasta yang kreatif dan memanfaatkan peluang.
Yang saya ingat hingga hari ini memang demikian bahwa pendidikan nasional yang diwakili sekolah negeri memang cenderung satu komando. Akibatnya mereka kesulitan dalam menentukan caranya mengaktualisasikan dirinya. Maka dari itu sekolah negeri tak ubahnya seperti franchase pada makanan cepat saji yang kedainya berada di mana-mana. Akan tetapi soal kualitas bisa diadu dengan sekolah swasta.
Saya mau berkisah bahwa ada sekolah swasta yang dianggap bonafit dari luar akan tetapi di dalam banyak ditemui bobroknya. Borok itu mudah ditemui bukan hanya dari pihak intern akan tetapi orang luar pun memiliki statement yang sama. Sekolah tersebut berlandaskan Islam akan tetapi keislamannya masih sebatas kulit alias brand marketing. Sekolah ini kami biasa menyebutnya dengan rodi islami.
Anda pasti tahu kerja rodi dalam penjajahan Belanda yaitu sistem kerja yang menuntut akan tetapi tidak disesuaikan dengan upah. Padahal menurut pepatah berilah upah sebelum kering keringatnya. Walaupun kadang upah sering telat akan tetapi para karyawan mungkin masih bisa memakluminya. Sebab mereka masih berkeyakinan pada harga diri dan kekeluargaan.
Cuma jika kita melihat di lapangan faktanya mengenaskan. Sekolah bernafas Islam malah justru membuat karyawannya seperti tercekit. Belum peraturan yang tak karuan, jam pembelajaran yang padat, waktu pulang yang sore, kegiatan yang tak pernah berhenti serta urusan perangkat pembelajaran dan tetek bengeknya yang bersifat coba-coba. Termasuk terjerembab dalam kemilau program yang bersifat sementara.
Tidak hanya itu sering pula ditemui jika sekolah terlalu berkaitan dengan uang. Akibatnya banyak dari wali siswa yang menganggap sekolah tersebut adalah bisnis. Anda tahu jika sekolah sudah dicampuradukan dengan urusan bisnis maka tunggu saja kapan saat di mana orang akan bertanya. Tidak hanya itu orang akan menuntut transparansi dan mendesak agar sekolah tersebut bicara. Di sinilah sulitnya jika hal itu dilakukan dengan kepemimpinan otoriter. Akibatnya segala macam pemikiran akan mandek.
Saya masih tetap menegaskan bahwa sekolah harus dikembalikan sesuai ruhnya yaitu mendidik. Tidak ada upaya lain selain mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperbaiki akhlak bukan justru menjadi ladang bisnis yang tak ubahnya seperti pabrik.
the woks institute l rumah peradaban 19/7/22
Komentar
Posting Komentar