Langsung ke konten utama

Sekolah dan Pabrik (2)




Woks

Kisah sekolah dengan rasa pabrik masih terus berlanjut. Persaingan antara konsep dan gagasan yang menjadi andalan di era modern masih berkuasa menarik wali siswa. Akibatnya di lain pihak kita dapati sekolah yang tutup karena ketidakmampuan dalam beradaptasi dan di sisi yang lain ada sekolah yang begitu laris. Siapa yang salah dalam hal ini apakah sistem pendidikan nasional yang cenderung tertutup dan usang atau pihak swasta yang kreatif dan memanfaatkan peluang.

Yang saya ingat hingga hari ini memang demikian bahwa pendidikan nasional yang diwakili sekolah negeri memang cenderung satu komando. Akibatnya mereka kesulitan dalam menentukan caranya mengaktualisasikan dirinya. Maka dari itu sekolah negeri tak ubahnya seperti franchase pada makanan cepat saji yang kedainya berada di mana-mana. Akan tetapi soal kualitas bisa diadu dengan sekolah swasta.

Saya mau berkisah bahwa ada sekolah swasta yang dianggap bonafit dari luar akan tetapi di dalam banyak ditemui bobroknya. Borok itu mudah ditemui bukan hanya dari pihak intern akan tetapi orang luar pun memiliki statement yang sama. Sekolah tersebut berlandaskan Islam akan tetapi keislamannya masih sebatas kulit alias brand marketing. Sekolah ini kami biasa menyebutnya dengan rodi islami.

Anda pasti tahu kerja rodi dalam penjajahan Belanda yaitu sistem kerja yang menuntut akan tetapi tidak disesuaikan dengan upah. Padahal menurut pepatah berilah upah sebelum kering keringatnya. Walaupun kadang upah sering telat akan tetapi para karyawan mungkin masih bisa memakluminya. Sebab mereka masih berkeyakinan pada harga diri dan kekeluargaan.

Cuma jika kita melihat di lapangan faktanya mengenaskan. Sekolah bernafas Islam malah justru membuat karyawannya seperti tercekit. Belum peraturan yang tak karuan, jam pembelajaran yang padat, waktu pulang yang sore, kegiatan yang tak pernah berhenti serta urusan perangkat pembelajaran dan tetek bengeknya yang bersifat coba-coba. Termasuk terjerembab dalam kemilau program yang bersifat sementara.

Tidak hanya itu sering pula ditemui jika sekolah terlalu berkaitan dengan uang. Akibatnya banyak dari wali siswa yang menganggap sekolah tersebut adalah bisnis. Anda tahu jika sekolah sudah dicampuradukan dengan urusan bisnis maka tunggu saja kapan saat di mana orang akan bertanya. Tidak hanya itu orang akan menuntut transparansi dan mendesak agar sekolah tersebut bicara. Di sinilah sulitnya jika hal itu dilakukan dengan kepemimpinan otoriter. Akibatnya segala macam pemikiran akan mandek.

Saya masih tetap menegaskan bahwa sekolah harus dikembalikan sesuai ruhnya yaitu mendidik. Tidak ada upaya lain selain mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperbaiki akhlak bukan justru menjadi ladang bisnis yang tak ubahnya seperti pabrik.

the woks institute l rumah peradaban 19/7/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...