Woks
Marah itu boleh tapi sewajarnya saja. Seperti halnya sabar maka marah pun ada batasnya. Bahkan agama membolehkan marah ketika agama atau dalam hal ini kebenaran Tuhan dilecehkan. Dulu kaum muslimin marah karena kebenaran (baca: Nabi Muhammad) diinjak-injak secara hina oleh kaum Quraisy. Akhirnya peperangan dalam sejarah kaum muslim tak terhindarkan, itu pun karena didahului dan kaum muslimin lebih kepada defense.
Dulu barangkali adalah kisah marah tentang memilih antara haq dan batil. Sedangkan saat ini haq dan batil seolah-olah bersatu dalam harmoni. Lebih dari itu kita di akhir zaman kesulitan memilah-memilih mana yang benar dan salah. Salah satu kesulitan itu mudah dijumpai ketika bertemu dengan orang bodoh. Gus Baha pernah menyinggung bahwa orang bodoh yang mengakui kebodohannya tidak terlalu berbahaya ketimbang orang bodoh yang mengaku pintar. Sebab orang keminter (sok pinter) padahal dirinya bodoh bisa menggelincirkan dan ini yang bahaya.
Salah satu sebab kita marah ketika berjumpa orang yang sebenarnya ia di jalan kebenaran tapi versi dirinya sendiri. Ia lebih lentur dengan dirinya dan kaku terhadap orang lain. Padahal kaidah fikih di masyarakat sangat jelas yaitu lentur di masyarakat dan kaku untuk diri sendiri. Persoalan ibadah misalnya jika untuk diri sendiri maka harus maksimal akan tetapi jika umat bertanya perihal ibadah itu jawablah dari yang paling mudah.
Saya tentu punya pengalaman marah. Akan tetapi saya berpikir dalam dan jauh jika saya marah karena hal sepele maka saya telah jatuh dan kalah. Pepatah Jawa populer berkata, "Seng waras ngalah" begitulah kiranya bahwa orang yang mengalah bukan berarti ia kalah. Justru ia hanya tengah memberikan pelajaran akan arti kedewasaan. Soal dewasa ini mahal harganya dan tidak bisa didapatkan sekalipun orang itu nampak besar, nampak terpandang dll.
Orang bijak tentu akan memiliki sikap marah yang berbeda dengan orang bodoh. Jika orang bijak cenderung diam dan merenung dalam melampiaskan kemarahannya bahkan tak jarang mereka menangis. Bagi orang bijak barangkali tangis cukup menjadi hakim atas kejadian yang semestinya membela dirinya. Akan tetapi bagi orang bodoh marah cenderung merusak dan pastinya emosional tak terkendali. Orang bijak bertindak dengan pikiran sedangkan orang bodoh bertindak dengan emosional. Orang bodoh lebih cenderung memenangkan dirinya sendiri tapi lupa bahwa ia juga pernah salah. Intinya kemarahan orang bodoh itu tidak elegan dan hanya kemenangan sesaat.
Jika sudah menemui hal-hal demikian apalagi yang harus dilakukan kecuali diam. Kata Nabi Muhammad saat kau terbakar api alias marah diam adalah obatnya, setelah itu redam dengan berwudhu. Jika kita sempat hampir tersulut api kemarahan segeralah istighfar dan menahan diri. Kendalikan diri ini selagi masih waras. Hanya orang bodoh lah yang pantas untuk marah dan itupun karena sesuatu yang tidak beralasan. Namanya juga orang bodoh mau diapakan juga sulit lebih lagi mereka yang merasa benar dan berkuasa.
the woks institute l rumah peradaban 19/7/22
Komentar
Posting Komentar