Langsung ke konten utama

Sekolah dan Pabrik




Woks

Tulisan ini barangkali sedikit menggugat. Pasalnya apa yang kita temui di lapangan sudah di tahap mengkhawatirkan. Sekolah dan pabrik sudah tidak ada bedanya. Saat ini hal apa yang tidak jadi proyek semua lini kehidupan hampir menjadi proyek. Sekolah tidak seramah dulu dan sebenarnya apa yang ingin dicari.

Pabrik dengan pekerja buruhnya menuntut kerja-kerja target karena mereka selalu dihadapkan dengan untung rugi, sukses atau bangkrut. Maka pantas saja iklim pabrik lebih keras dan penuh rivalitas. Tapi jika hal itu diterapkan di sekolah lantas apa yang akan terjadi. Sekolah yang seharusnya berfungsi mendidik kini justru seperti industrialisasi yang hanya mencetak produk sesuai pangsa pasar.

Sekolah tidak ramah seperti dulu di mana guru dan murid asyik dalam harmoni. Kini guru ibarat karyawan pabrik dan murid serta orang tua seperti customer yang harus dilayani. Jika kita membaca kembali Ta'lim Muta'allim sebagai kitab pedagogi di pesantren karya Syeikh Zarnuji yang mengisahkan bahwa dulu putra Harun Ar Rasyid harus menjadi pelayan gurunya Imam Abu Hanifah saat menuangkan air. Tapi saat ini guru justru harus sibuk dengan segala macam administrasi.

Kita kadang merasa aneh memang ketika guru tidak lagi fokus dalam persoalan peserta didik. Misalnya mereka harus dituntut ini dan itu padahal permasalahan hidup begitu menumpuk. Belum lagi di mana-mana seperti dikepung absensi yang seperti ranjau pagar. Semua hanya menuntut kedisiplinan versi kapitalis yang menuntut sama rata. Padahal sejak dulu rumusnya sudah jelas bahwa keadilan itu tidak mesti sama tapi mesti sesuai takaran.

Sekolah yang kaku dan tidak bisa berkompromi atas permasalahan di lapangan hanya akan membuat sakit hati. Tak ubahnya seperti pabrik padahal jika hanya menginginkan kedisplinan kuncinya bukan dengan absen akan tetapi dengan kesadaran dan kesabaran. Kita kenal istilah disiplin bangkai yaitu sikap disiplin yang diperoleh karena rasa takut. Bisa dibayangkan jika guru bekerja hanya karena takut pihak pengelola maka di sanalah tak ubahnya bagai karyawan pabrik yang takut dengan bossnya.

Riwayat pendisiplinan sebenarnya bukan begitu akan tetapi cukup dengan sistem yang baik. Mereka diajak untuk berpikir jernih bukan dibentuk dengan otoriter tanpa ada tawaran musyawarah. Akhirnya kerja tidak sepenuh hati dan bukan malah memiliki akan tetapi justru membenci. Intinya selama ruang berpikir dikebiri maka kesempatan untuk berkreasi tak akan terlahir. Orang sudah malas berkontribusi karena ujungnya sudah jelas ditentukan oleh sistem yang rigid.

Sekolah seharusnya memberi ruang untuk orang berpikir. Orang-orang yang mengenal potensi dirinya bukan malah justru disetting oleh sesuatu yang di luar diri orang tersebut. Karena setiap anak memiliki ruang otonomi nya sendiri dan bukan yang berbau pelarangan. Seharusnya biarlah anak bermain dan yang terpenting kita harus memantau. Perkembangan anak teramat penting tapi tak kalah pentingnya juga soal kesejahteraan guru. Biarlah guru bekerja sepenuh hati bukan di bawah kuasa tak berperi.

Terakhir saya ingin katakan bahwa sekolah bukan pabrik. Sekolah adalah tempat menyenangkan menimba ilmu dan tidak yang lain. Sekolah adalah wadah melukiskan cita-cita masa depan. Dengan sekolah orang bisa memiliki arti lebih dan pastinya terus berorientasi pada peradaban dan keilmuan serta berlandaskan akhlak karimah.

the woks institute l rumah peradaban 19/7/22




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...