Langsung ke konten utama

Sekolah dan Pabrik (3)




Woks

Di sekolah swasta sejak dulu kita tahu selalu berinovasi karena menentukan sendiri arah gerak pendidikannya. Sedangkan sekolah negeri cenderung satu pintu menunggu komando pemerintah pusat. Akibatnya dari inovasi tersebut membuat sekolah yang statis harus bersiap untuk mati lebih cepat. Barangkali contoh serupa bisa sangat mudah terjadi dan tak bisa dihindarkan oleh sekolah swasta maupun negeri. Hanya mereka yang mau terbuka terhadap perubahan serta adaptif dapat bertahan.

Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah soal pembangunan baik itu fisik maupun muatan isi. Di sekolah negeri sering dijumpai sekolah terbengkalai karena ditinggal siswa dan guru. Akibatnya sekolah mati dan hanya meninggalkan fisik bangunan sedangkan di pihak swasta bisa jadi demikian namun tambahan problemnya adalah soal kebijakan. Jika kebijakan ditentukan dengan baik berdasarkan asas musyawarah untuk menggali inovasi tentu sekolah bisa bertahan. Akan tetapi sebaliknya jika kebijakan hanya karena ego sesaat maka sekolah mudah pincang. Bisa jadi bangunan fisik maju namun bangunan isi sebenarnya rapuh.

Soal bangunan barangkali pabrik tak bisa disangkal pasti megah dan meyakinkan. Akan tetapi bisa sangat mungkin soal kebijakan justru menyengsarakan. Tak bisa dipungkiri kita bisa saksikan setiap 1 Mei atau May Day para sarikat buruh akan menggelar aksi tak lain dalam upaya menegakkan keadilan. Sejauh ini buruh lebih sering tertindas dan jauh dari kata sejahtera. Jika misalnya sekolah memiliki prinsip modal secukupnya dan menggenjot keuntungan sebanyak-banyaknya maka lembaga pendidikan tersebut tak ubahnya dengan pabrik.

Sejauh mata memandang di lembaga apapun baik instansi pemerintah maupun swasta permasalahan utama pasti soal sistem kebijakan yang berpengaruh pada kinerja hingga gaji. Soal gaji misalnya tak bisa dipungkiri akan selalu menjadi sandungan utama. Tapi amat lucu jika di sebuah sekolah swasta diberlakukan pemotongan gaji cuma karena karyawan kurang disiplin. Padahal jika dipikir selama amanah dalam sebuah pembelajaran tidak terbengkalai pastinya masih bisa ditoleransi. Yang jadi pertanyaan adalah sistem kerja menarget akan tetapi tidak sesuai dengan harapan. Istilahnya adalah memeras sapi perah dengan maksimal tanpa mempertimbangkan sapinya. Hal ini percis terjadi pada kalangan kapitalis dengan modal besar yang berkuasa atas diri buruhnya. Mereka menganggap bahwa kehidupan buruh separuhnya dikuasai koorporasi.

Sejak dulu sudah jelas baik di pabrik maupun di sekolah soal kesejahteraan adalah mimpi setiap karyawan. Jika sejahtera telah dicapai maka segala macam persoalan akan mudah diselesaikan. Jika melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan tentu harapannya adalah bisa memberikan fasilitas pada peserta didik yang terbaik namun tetap memperhatikan karyawan. Jika sinergi antara kebijakan dan karyawan seperti kucing-kucingan maka lagi-lagi pasti peserta didik yang akan terkena dampaknya.

Sekolah seharusnya berpikir jangan seperti pabrik yang hanya berorientasi pada produksi dengan mengenyampingkan kewajiban berupa hak karyawan utamanya soal kesejahteraan. Jika kesejahteraan telah digapai rasanya beban atau target bisa diberlakukan secara maksimal. Intinya timbal balik itu harus sesuai dengan kesepakatan dan harapan. Saya terus menekankan bahwa lagi-lagi sekolah itu bukan pabrik bagaimana menelurkan anak yang hebat tetap saja sekolah adalah penunjuk jalan. Sekolah adalah jembatan yang menghantar siswa menuju potensinya agar berguna di masa mendatang. []

the woks institute l rumah peradaban 23/7/22



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...