Woks
Di sekolah swasta sejak dulu kita tahu selalu berinovasi karena menentukan sendiri arah gerak pendidikannya. Sedangkan sekolah negeri cenderung satu pintu menunggu komando pemerintah pusat. Akibatnya dari inovasi tersebut membuat sekolah yang statis harus bersiap untuk mati lebih cepat. Barangkali contoh serupa bisa sangat mudah terjadi dan tak bisa dihindarkan oleh sekolah swasta maupun negeri. Hanya mereka yang mau terbuka terhadap perubahan serta adaptif dapat bertahan.
Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah soal pembangunan baik itu fisik maupun muatan isi. Di sekolah negeri sering dijumpai sekolah terbengkalai karena ditinggal siswa dan guru. Akibatnya sekolah mati dan hanya meninggalkan fisik bangunan sedangkan di pihak swasta bisa jadi demikian namun tambahan problemnya adalah soal kebijakan. Jika kebijakan ditentukan dengan baik berdasarkan asas musyawarah untuk menggali inovasi tentu sekolah bisa bertahan. Akan tetapi sebaliknya jika kebijakan hanya karena ego sesaat maka sekolah mudah pincang. Bisa jadi bangunan fisik maju namun bangunan isi sebenarnya rapuh.
Soal bangunan barangkali pabrik tak bisa disangkal pasti megah dan meyakinkan. Akan tetapi bisa sangat mungkin soal kebijakan justru menyengsarakan. Tak bisa dipungkiri kita bisa saksikan setiap 1 Mei atau May Day para sarikat buruh akan menggelar aksi tak lain dalam upaya menegakkan keadilan. Sejauh ini buruh lebih sering tertindas dan jauh dari kata sejahtera. Jika misalnya sekolah memiliki prinsip modal secukupnya dan menggenjot keuntungan sebanyak-banyaknya maka lembaga pendidikan tersebut tak ubahnya dengan pabrik.
Sejauh mata memandang di lembaga apapun baik instansi pemerintah maupun swasta permasalahan utama pasti soal sistem kebijakan yang berpengaruh pada kinerja hingga gaji. Soal gaji misalnya tak bisa dipungkiri akan selalu menjadi sandungan utama. Tapi amat lucu jika di sebuah sekolah swasta diberlakukan pemotongan gaji cuma karena karyawan kurang disiplin. Padahal jika dipikir selama amanah dalam sebuah pembelajaran tidak terbengkalai pastinya masih bisa ditoleransi. Yang jadi pertanyaan adalah sistem kerja menarget akan tetapi tidak sesuai dengan harapan. Istilahnya adalah memeras sapi perah dengan maksimal tanpa mempertimbangkan sapinya. Hal ini percis terjadi pada kalangan kapitalis dengan modal besar yang berkuasa atas diri buruhnya. Mereka menganggap bahwa kehidupan buruh separuhnya dikuasai koorporasi.
Sejak dulu sudah jelas baik di pabrik maupun di sekolah soal kesejahteraan adalah mimpi setiap karyawan. Jika sejahtera telah dicapai maka segala macam persoalan akan mudah diselesaikan. Jika melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan tentu harapannya adalah bisa memberikan fasilitas pada peserta didik yang terbaik namun tetap memperhatikan karyawan. Jika sinergi antara kebijakan dan karyawan seperti kucing-kucingan maka lagi-lagi pasti peserta didik yang akan terkena dampaknya.
Sekolah seharusnya berpikir jangan seperti pabrik yang hanya berorientasi pada produksi dengan mengenyampingkan kewajiban berupa hak karyawan utamanya soal kesejahteraan. Jika kesejahteraan telah digapai rasanya beban atau target bisa diberlakukan secara maksimal. Intinya timbal balik itu harus sesuai dengan kesepakatan dan harapan. Saya terus menekankan bahwa lagi-lagi sekolah itu bukan pabrik bagaimana menelurkan anak yang hebat tetap saja sekolah adalah penunjuk jalan. Sekolah adalah jembatan yang menghantar siswa menuju potensinya agar berguna di masa mendatang. []
the woks institute l rumah peradaban 23/7/22
Komentar
Posting Komentar