Langsung ke konten utama

Adzan di Masjid Al Mimbar Majan




Woko Utoro

Mengunjungi Masjid Al Mimbar Majan mungkin tidak terbilang banyaknya. Sejak pertama mengetahui masjid ini saya langsung terkesan. Terlebih ketika melihat bentuk gapura dan menaranya membuat saya jatuh hati. Terutama ketika berziarah mengunjungi makam pendiri masjid yaitu Mbah KH. R. Khasan Mimbar tepat di belakang masjid. 

Dari perjalanan bolak-balik ke Masjid Al Mimbar tentu saya memiliki angan-angan kapan ya bisa mengumandangkan adzan di sini. Sepertinya bisa mengumandangkan adzan di masjid legendaris akan sangat berbahagia. Kaitannya dengan itu tentu saya punya kesan menarik. Selama kurun waktu sewindu di Tulungagung saya punya kesan menarik karena bisa adzan di mushola Pondok Panggung. 

Di mushola itu saya merasa begitu hidup terlebih ketika bisa adzan di sana. Awalnya tentu gugup berdegup kencang terlebih muadzin amatir seperti saya. Akan tetapi momen tersebut masih saya ingat hingga kini. Kedua kesan menarik ternyata ketika saya bisa adzan di Masjid Al Mimbar. Sebuah kesan yang pastinya biasa saja bagi orang lain. Tapi berbeda dengan saya yang memang sudah memiliki angan-angan sejak lama. 

Mengapa saya bisa adzan di sana. Awalnya ketika istirahat sore saya duduk-duduk santai. Hingga tiba waktu ashar tapi masjid tak kunjung adzan. Padahal beberapa orang bapak-bapak yang nampaknya pengurus masjid sudah ada di dalam. Saya pun masuk ke masjid selepas berwudhu. Tiba-tiba seorang bapak mendekati saya dan mengatakan, "Mas sampean adzani". Saya pun kaget dan langsung mempertanyakan, " Lha biasanipun wonten lho pak ingkang adzan".

Saya kira beliau akan menjawab misalnya ini pas berhalangan atau apa. Ternyata justru malah menyudutkan saya kata si bapak, "Lha sampean opo ndak gelem? ". Saya pun hanya bisa menyerah, " Nggeh purun pak, ning kan biasanipun pengurus takmir. Kulo namung tiyang jawi". Tapi pada akhirnya saya pun memberanikan diridiri untuk adzan. 

Terkait momen tersebut sebenarnya saya tidak keberatan. Hanya saja dulu saya pernah diberi nasihat jika berada di tempat baru kita harus mengerti adat dan tradisi. Jadi jangan asal srobot saja apalagi terlalu percaya diri. Bahwa segala sesuatu itu ada takarannya. Bahwa segala sesuatu ada aturanya. Termasuk ketika diminta adzan kita perlihatkan bahwa sebenarnya ada yang lebih berhak atas tugas tersebut. Tapi jika benar-benar diminta apa boleh buat dan mengapa harus ditolak toh selama kita mampu mengapa tidak. []

The Woks Institute rumah peradaban 10/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...