Langsung ke konten utama

Menulis Sebagai Terapi





Woko Utoro

Dulu saat kuliah psikologi sufistik dosen kami meminta menuliskan emosi apa yang muncul dalam seminggu. Setelah ditulis lalu identifikasi emosi apa yang dominan muncul. Dari seminggu itu kita coba memetakan bagaimana emosi mudah top and down.

Setelah tau kita mencoba mendiagnosa apa sebenarnya terjadi. Kita pura-pura menjadi psikolog atas segala problem hidup. Kita merekayasa menjadi terapis atas segala dilema yang terjadi. Hasilnya tentu luar biasa.

Dari seminggu tersebut ternyata kita lebih dominan mengeluarkan emosi negatif seperti kecewa, gugat, sedih, galau, emosional, tergesa-gesa, malas, takut, tidak percaya diri, bohong, gagal move on, menyerah hingga putus asa. Kita justru sangat minim untuk syukur, sabar, ikhlas, pasrah, menerima, rela, ridho, percaya diri, kuat, mampu, bijak, dewasa, mengalah, pantang menyerah, berkorban, menolong, optimis, jujur, tidak menyakiti.

Akhirnya dari semua data itu kita tahu bahwa diri ini masih akan terus belajar. Akan terus berbenah menjadi pribadi lebih baik. Dan tanpa disadari segala macam emosi pada diri tersebut secara alami kita sedang melakukan terapi.

Perlu diketahui bahwa kita adalah tabib bagi diri sendiri. Jadi segala macam problem yang terjadi sebenarnya kita lah yang lebih mengetahui. Sedangkan orang lain hanya sekadar membantu untuk memecahkan masalah. Dokter, psikolog, psikiater, terapis, tabib, dukun atau apapun itu sebenarnya tidak lebih tau dari apa yang kita rasakan. Oleh sebab itu kita harus belajar dari orang lain dan khususnya pada diri sendiri.

Ada banyak kondisi yang memang kita harus berdamai dengan semua. Kondisi yang mana tidak setiap orang mampu memahami. Maka dari itu sekadar saran saja kata Jokpin, "Tak usah khawatir kadang kesedihan harus dirayakan dengan puisi".[]

the woks institute l rumah peradaban 16/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...