Woko Utoro
Sudah 79 tahun bangsa Indonesia merdeka. Di usia itu kita masih berupaya mencari apa arti kemerdekaan sesungguhnya. Apakah merdeka itu sebuah kebebasan tanpa tepi. Atau sebuah cara untuk hidup semau gue. Tentu bukan itu. Merdeka sesungguhnya adalah kemampuan untuk hidup bersama dalam keragaman.
Sebenarnya bicara kemerdekaan sejak lama para founding father telah memberi teladan bahwa kemerdekaan dimulai dari satu pikiran, perasaan dan tindakan untuk memulai kehidupan. Jadi sekalipun usia bangsa ini bertambah hakikatnya kita masih memulai. Dengan memulai kita berarti akan terus belajar. Belajar tentang banyak hal terutama bagaimana mengisi kemerdekaan. Jika sudah begitu maka merdeka percis yang digambarkan Pramoedya dulu yaitu tentang adil sejak di alam pikiran.
Bukan tanpa hambatan. Merdeka itu berhadapan dengan masalah. Sejak merebut hingga mempertahankan, kemerdekaan itu harga yang harus dibayar. Terlebih lagi upaya untuk merawat dan mengisi kemerdekaan. Salah satu hambatan kemerdekaan adalah benturan sesama anak bangsa. Salah satunya soal pola pikir yang menurut hemat saya kurang tepat. Misalnya kita dibenturkan antara pribumi dan non-pribumi, atau ormas vs partai, ulama kiai vs habib dll. Padahal hal demikian sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Sejak dulu isu rasial memang berbahaya. Maka benar kata Bung Karno bahwa hal terberat adalah ketika pertarungan melawan bangsa sendiri. Artinya konflik persaudaraan bisa lebih runcing jika dibandingkan melawan penjajah. Tapi apakah kita sudah terbebas dari penjajahan. Rasanya belum. Kita justru masih menghadapi penjajahan gaya baru salah satunya melalui teknologi. Produk teknologi salah satunya medsos memungkinkan kita terurai jika benar-benar tidak memiliki iman digital. Seperti yang kita ketahui medsos keruh dengan caci maki, cyber crime, penyebaran berita hoax, terorisme berbasih media, prostitusi online, hingga teror isu SARA.
Baru-baru ini media juga digegerkan dengan isu kolonial pada bangunan istana negara. Belum lagi di September nanti kita juga akan menghadapi isu murahan yang diulang-ulang. Menurut sejarawan JJ Rizal kolonialisme itu bukan pada bangunan atau mungkin teknologi. Karena kedua entitas itu hanyalah perangkat keras. Sedangkan kendali utama ada pada brainware atau pengguna. Jadi kolonial itu dimulai oleh pikiran.
Bangunan peninggalan kolonial justru lebih kokoh dan awet. Intinya bau kolonial pada bangunan tidak lebih membahayakan daripada pikiran putra bangsa yang justru menguasai bangsa sendiri untuk kepentingan golongan lain. Dari sinilah kita membuka bahwa pikiran mudah dikendalikan. Bahwa pikiran adalah kendali utama atas sebuah kebijakan. Jadi jika pikiran kita terbelenggu oleh prinsip yang picik maka itu disebut sedang terjajah. Sekalipun mungkin orang tersebut berada di dalam rumahnya sendiri.
Mari merdekakan pikiran. Jangan mempersempit nya dengan pemahaman yang tidak berdasar. Kita harus menengok sejarah bahwa kemerdekaan pikiran adalah cara untuk kemerdekaan itu sendiri. Bisa saja Viktor Frankl dikurung di camp Nazi tapi selama pikirannya bebas ia merdeka. Bisa saja Bung Hatta dibuang ke Digoel hingga Belanda tapi selama pikiran nya membaca ia merdeka. Sangat mungkin Bung Karno fisiknya diasingkan ke Ende Flores tapi selama ia menulis maka masih merdeka. Fisik boleh saja memenjarakan Buya Hamka tapi pikiran nya melampaui zamannya karena ia membaca dan menulis.
Jadi jelas sudah bahwa kemerdekaan dimulai dari peradaban berpikir. Siapa yang berpikir maka ia manusia. Siapa yang berpikir berarti ia bersyukur. Jika dalam Islam tentu pikiran yang dikendalikan oleh hati. Hati adalah titik pusat di mana manusia memerdekakan dirinya.[]
The Woks Institute rumah peradaban 17/8/24
Komentar
Posting Komentar