Langsung ke konten utama

Belajar dari Perjalanan Bus




Woko Utoro


Nama ku Satrio, tapi tanpa Piningit. Aku lahir di bawah kaki Gunung Tidar. Nama gunung yang tentunya tidak asing. Gunung yang dijuluki sebagai pakuning tanah jowo. Setelah itu aku terlempar jauh ke tatar Sunda. Sebuah negeri yang tak pernah ku siasati.


Aku besar di sana bersama sawah, ilalang dan kepayahan. Tanah, batuan hingga rumput kering menjadi keseharian. Aku tumbuh bersama alam. Dibesarkan oleh kasih sayang seorang ibu. Yang kasihnya selembut sutra. Yang sayangnya sekuat baja. Aku juga diasuh oleh bapak. Manusia tegas dan visioner. Yang hidupnya hanya berharap belas kasih Tuhan.


Aku ingat pesan-pesan mereka di kalah jauh. Kata ibu, hiduplah dengan kejujuran. Karena dengan itu manusia manapun memberi kepercayaan. Setelah itu jaga amanat dari Tuhan. Sebagai mahluk biasa kita hanya diperintah tak ada lain selain ibadah. Kata bapak jadi laki-laki itu harus kuat, tegak, tegas, dan berprinsip. Laki-laki tidak boleh lemah. Ia tidak boleh tunduk dengan air matanya. Laki-laki hanya boleh kalah ketika dalam kesendirian. Itu pun sejatinya tanda bahwa mereka kuat. Laki-laki tak boleh mengobral air matanya untuk hal-hal remeh dalam hidup. Mereka harus berdiri tegak sekalipun ribuan hujan menghantam. Bahkan jika pun badai mencoba meluluhlantakkannya.


"Yo, Satrio bangun, bangun hari sudah pagi. Masih ada banyak hal yang harus kita kerjakan", kata seorang teman.


Aku pun terbangun. Aku baru sadar bahwa diri ini sedang berada jauh dari tempat berpijak. Aku masih tidak percaya waktu begitu cepat. Termasuk mudahnya perasaan berganti-ganti peran. Sejak dulu waktu memang tak berubah selalu tak bisa dimengerti. Sama seperti perasaan yang tak bisa dipahami. 


Siang itu di sebuah bus jurusan Jogja aku terdiam terpaku. Hanya sesekali mendengar suara parau dari musik pengamen jalanan. Akan tetapi seketika aku terhentak. Bus yang kami tumpangi mendadak ngeren. "Asuuuu, cohh, djancookk", terdengar dari mulut kondektur. Umpatan itu mengagetkan seisi bus. Aku pun tak tahu apa gerangan umpatan itu keluar. 


Usut punya usut ternyata ada pengendara lain yang mencoba menerobos. Maka sontak saja sang kondektur memberi umpatan tersebut. Dari itu aku belajar sedikit hal tentang si kondektur. Bahwa terkait keselamatan banyak orang kita harus tegas. Jika dikaitkan dengan kepemimpinan maka pemimpin itu harus tegas. Jika berkaitan dengan rakyat maka pemimpin harus di garda terdepan. 


Pembelajaran lain yaitu bahwa si kondektur akan menurunkan penumpangnya di tempat terdekat. Termasuk ketika suara lantangnya menawarkan penumpang jarak terdekat dengan tujuan. Semua itu tanda bahwa hidup pun sama. Sebelum mencapai tujuan akhir ada tujuan terdekat setelah mati yaitu alam barzakh. Barzakh adalah alam terdekat setelah manusia melewati alam dunia. Di alam barzakh lah manusia akan menunggu menuju alam akhirat, alam keabadian. 


Singkat kisah aku sampai tujuan. Di sana aku hanya diam. Aku hanya memandang dengan kosong rumahnya. Awalnya aku yakin pintu-pintu akan terbuka. Tapi setelah beberapa lama justru tak ada suara. Nampaknya hari itu bukan miliku. Sampailah di titik bahwa diam adalah kekuatan. Laki-laki dipandang kuat bukan karena ototnya melainkan saat mereka berdiam diri. Diam dalam arti hanyut kedalam relung batin. Sebuah fase di mana manusia manapun tak akan mengerti. 


Lantas sampai dengan jarak tempuh itu aku berkesimpulan kembali. Kembali bukan berarti kalah. Tapi lebih kepada menepi. Kadang hidup tidak harus menang. Kekalahan pun bisa jadi kemenangan dalam makna lain. Sangat mungkin kerapuhan adalah cara cahaya memasuki jiwa. Dengan cara itu kita akan mengerti akan arti dewasa. Lewat cara itu kita akan lebih menghargai arti perjuangan dan rasa sakit. Intinya terus saja berjalan. Karena dalam perjalanan kita disuguhkan pelajaran. []


The Woks Institute rumah peradaban 5/8/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...