Langsung ke konten utama

Hidup Tidak Harus Selalu Beruntung




Woko Utoro


Suatu malam seperti biasa saya telpon bapak. Perbincangan kami malam itu memang sudah terjadwal. Dalam kondisi apapun pesan-pesan bapak selalu saya tunggu. Apa yang disampaikan bapak semacam khutbah. Tapi lebih ke khutbah perasaan alias menyentuh aspek psikologis. 


Untuk kesekian kalinya saya curhat kepada bapak. Curhat berkaitan perasaan atau bisa disebut asmara. Saya tentu tidak menuliskan kisah itu di sini. Yang jelas topik malam itu berkaitan dengan kerapuhan jiwa. Sontak saja perihal demikian selalu jadi bahan guyonan bapak. Ya, bapak memang tipe orang yang humoris. Kemampuan beliau dalam menertawakan dunia memang sudah diakui. Sayalah orang yang hingga kini masih belum juga paham bagaimana menghadapi dunia lewat lelucon. 


Kata bapak hidup itu tidak harus selalu mulus. Hidup itu adakalanya seret alias menemukan kesulitan. Karena hanya lewat jalur itu kita mengerti akan rasa sakit. Melalui jalan itu kita menjadi dewasa. Serta akan mampu menempatkan diri sekaligus belajar. Jika hidup selalu lancar dan tak menemukan jalan buntu maka hidup demikian tak layak dijalani. 


Justru jika hidup mulus-mulus saja kita perlu mempertanyakannya. Karena hanya lewat ujian dan penderitaan para kekasih diangkat derajatnya. Oleh karena itu kata bapak santai saja. Sesuatu yang hilang atau belum ditetapkan pasti ada gantinya. Asalkan jangan sampai kehilangan untuk husnudzon kepada Allah. Karena kehilangan Allah tak akan pernah ada gantinya. 


Nikmati saja prosesnya. Seiring berjalannya waktu rasa sakit hingga ketidakberuntungan akan mudah dilupa. Bisa jadi dengan rangkaian penolakan dan kegagalan kita tengah dipersiapkan menjadi manusia utuh. Manusia yang bisa menempatkan sesuatu dengan elegan. Manusia yang tumbuh berdasarkan daulatnya. Manusia yang tak pernah mengeluh walaupun diterpa badai derita. 


Santai saja. Katanya kita ini sering berziarah mengunjungi masa lalu yang tak lain sebagai bekal masa depan. Apapun yang terjadi toh sekalipun disebut kegagalan tetap saja selalu ada hikmah. Bisa sangat mungkin apa yang kita alami adalah bentuk kasih sayangNya. Kita tidak akan pernah tahu bahwa derita dan bahagia itu sama. Bahwa tangis dan tawa itu muaranya sama yaitu perasaan. Maka untuk apalagi kita terbenam. 


Kata anak kekinian hidup itu bangkit dari keterpurukan dengan move on. Jangan sampai energi kita terbuang sia-sia hanya karena berpikir remeh. Adakah kegilaan lain yang perlu dibela kecuali segala sesuatu berdasarkan ketetapan Nya. Saat ini kita hanya perlu menikmati hidup. Ikuti garis takdirnya. Kata Sayyidina Umar hidup itu hanya lari dari takdir menuju takdir yang lain. Jadi jangan khawatir. Khawatir lah ketika kekasih pilu tapi kita tak di sampingnya. Itulah satu kesempatan yang boleh kita tangisi. []


The Woks Institute rumah peradaban 8/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...