Langsung ke konten utama

Kasih Sayang Seorang Ibu




Woko Utoro

Jika membaca ibu satu kata yang selalu diingat yaitu kasih sayang. Kasih dan sayang ibu memang melegenda. Entah bagaimana awalnya, yang jelas kasih sayang seorang ibu di manapun itu sama.

Saking sayangnya kepada anak ibu rela berkorban atas nama apapun. Akibatnya kasih sayang ibu melahirkan beragam sifat pada anaknya: manja, percaya diri, malu, berani, malas, tegas hingga lemah. Ya, kasih sayang ibu melahirkan paradoks. Di satu sisi menguatkan anaknya. Di sisi yang lain melemahkan anaknya. Maka kasih sayang itu harus ada takarannya.

Hanya saja satu hal yang tak bisa ditawar adalah perihal keselamatan. Jika sudah soal keselamatan ibu tak bisa main-main. Misalnya ada anak nakalnya bukan main bahkan sampai masuk bui. Tapi ibu selalu yakin bahwa anaknya tak bersalah. Kadang dengan sikap welas asihnya ibu masih mau di garda depan membela anaknya. Padahal misalnya anaknya jelas-jelas bersalah. Tapi itulah ibu.

Satu lagi kisah di era Yunani kuno. Ada seorang anak yang bolak-balik membohongi ibunya. Suatu hari jika sang anak ingin jadi panglima syaratnya sederhana, ia harus membawa kepala ibunya ke hadapan raja. Sang anak pun kembali membohongi ibunya hingga akhirnya si kepala ibu dipenggalnya.

Ketika kepala sang ibu di bawa di hadapan raja. Si anak tersebut tersandung dan kepala ibu itu terjatuh. Anehnya kepala sang ibu itu berkata, "Nak, hati-hati raja itu hanya ingin menguasai mu". Bayangkan kisah tersebut luar biasa. Kepala ibu sudah terpisah dari jasad saja beliau masih mengingatkan kepada anaknya betapa arti keselamatan. Jadi jelas kunci utama hidup ada pada ibu.

Jika ada laki-laki yang ditolak cinta misalnya oleh sang anak gadis. Itu bukan salah anaknya. Tapi laki-laki itu saja yang tidak mampu melihat betapa air mata ibu terlampau mahal buat masa depan anaknya.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan