Woko Utoro
Pepih Nugraha menulis dengan apik perihal karakter aktivitas literasi di masyarakat. Dia menulis dengan mempertanyakan aktivitas apa yang anda lakukan setiap hari. Hal itu semacam pertanyaan di dinding Facebook, "Apa yang anda pikiran? ".
Pertanyaan tersebut muncul tentu berjenjang. Awalnya dulu ketika bangsa Cina sedang terjajah atau bangsa lain yang serupa pertanyaannya" Sudah makan apa hari ini? ". Lantas jawab atas tanya tersebut adalah melahirkan tradisi bubur. Sebuah nasi yang dimasak hancur, padat dan mengental agar terlihat banyak. "Sudah makan bubur", jawabannya. Atau bisa jadi, "Kami belum makan".
Akhirnya peradaban makin berkembang hingga pertanyaan pun semakin maju. Dari pertanyaan sekadar basa-basi seperti, " Bagaimana kabarnya?", "Sehat-sehat selalu". Akan tetapi pertanyaan tersebut belum menyentuh aktivitas literasi sebagaimana Pepih inginkan. Seharusnya pertanyaan tersebut bertransformasi misalnya, "Sudah membaca buku apa hari ini? " atau "Apa yang anda tulis hari ini? ". Pepih bahkan lebih dalam lagi khususnya bagi pegiat literasi, "Buku apa yang sedang anda tulis? ".
Pertanyaan tersebut akan mudah terjawab dengan tradisi membaca harian. Kata Pepih, sejauh ini membaca menjadi cara efektif untuk menghantar seseorang dalam menulis. Membaca diibaratkan seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir sebelum akhirnya bersenyawa dengan laut. Maka sebelum laut menjadi akhir tradisi membaca sudah harus mendahului.
Perjalanan aliran sungai menuju laut bagi saya dimaknai proses atau aktivitas berlatih. Kata AS Laksana jangan percaya bakat. Terkhusus menulis kesampingkan bakat. Karena menulis adalah cara seseorang menempa diri dengan terus berlatih. AS Laksana bahkan menyergah misalnya anda tahu bakat diri anda adalah menulis lantas tidak dibarengi dengan aktivitas latihan apakah mungkin sebuah buku bisa dilahirkan. Rasanya sulit.
Membaca itu hal utama. Maka tidak salah jika wahyu pertama dalam Islam adalah perintah untuk membaca. Membaca tersebut tentu bukan dipersempit pada buku melainkan realitas. Orang yang peduli pada ketidakadilan, pada seni, pada disabilitas, pada agama atau kebaikan adalah yang pandai membaca. Sedangkan kemampuan peka pada realitas memerlukan kecerdasan yang juga diawali dari membaca dalam hal ini buku.
Jika bacaan menjadi kebutuhan maka dampaknya akan luar biasa. Book akan jadi konsumsi utama yang diburu masyarakat bukan malah face-book. Sehingga membaca di tempat umum bukan hal yang aneh. Justru menjadi berbeda soal membaca itu diperlukan. Agar masyarakat memahami bahwa aktivitas membaca sangat diperlukan untuk merubah watak dan membangun peradaban. []
The Woks Institute rumah peradaban 15/8/24
Komentar
Posting Komentar