Langsung ke konten utama

3 Hal Yang Harus Ditanyakan Pada Anak Saat Pulang Sekolah


Sumber foto: Warkop Ngaji Ngopi Kepatihan-Tulungagung

Woks

Sungguh asyik menjadi orang tua yang terus membersamai anak-anaknya. Mereka mengamati terus perkembangan anak setiap hari termasuk saat anak ke sekolah. Pembelajaran formal yang selama ini kita pahami sebagai sekolah tentu menjadi momentum orang tua lebih mengetahui bagaimana anak berproses di sana. Salah satu hal yang membuat keberadaan anak-anak berharga yaitu ketika mereka dilibatkan dalam berbagai hal salah satunya pendidikan yang ada di rumah.

Perlu diketahui bahwa sekolah hanya menyumbang 25% persen saja pengaruh yang bisa dituru oleh anak selebihnya 75% terdapat di lingkungan keluarga. Menanyakan bagaimana keadaan anak adalah salah satu upaya orang tua untuk membangun relasi, menciptakan komunikasi, membangun emosi, serta merangsang tumbuh kembangnya baik lewat verbal maupun visualisasi. Setidaknya ada 3 hal yang perlu ditanyakan orang tua saat anak-anak pulang dari sekolah.

Pertama, menanyakan sudah sholat atau belum? Dalam Islam tentu posisi sholat sangatlah istimewa dan tentunya penting. Saking istimewa shalat sampai-sampai ibadah ini menjadi kado kepada Nabi Muhammad saw ketika peristiwa Isra mi'raj. Shalat adalah sarana bersua Allah swt "as shalatu mirajul mukmin". Shalat juga menjadi dimensi pembeda dari setiap umat beragama di dunia. Shalat juga merupakan sarana beristirahat karena dulu perintah shalat diterima nabi pasca kejadian Amul Huzni atau tahun kesedihan. Mengapa harus shalat yang ditanyakan terlebih dahulu? karena shalat adalah dimensi tauhid. Dimensi di mana segala amal manusia bermuara di sana. Sehingga dari itu orang tua sedang memberi pemahaman bahwa shalat sangatlah penting bagi kehidupan. Maka anak-anak harus dikuatkan pondasi beragamanya.

Kedua, menanyakan mendapat ilmu apa hari ini? pertanyaan ini tentu berkorelasi dengan sebuah konsep bernama pembelajaran. Apakah ilmu didapat dari proses belajar atau justru ilmu adalah pembelajaran itu sendiri. Yang jelas anak-anak dilatih untuk berpikir apakah selama ini yang ia amati, ia baca, ia hafal adalah bagian dari ilmu ataukah itu hanya sekadar persepsi. Di sinilah yang dalam bahasa Iqbal Aji Daryono sebagai pendidikan yang rendah hati. Anak-anak harus diajari bahwa sesuatu bisa benar bisa salah. Sehingga kelak saat mereka dewasa akan berpikir bahwa kebenaran manusia tidak absolut alias masih bisa ditawar. Hal itu diajarkan agar nanti anak tidak merasa diri paling benar sendiri. Menanyakan ilmu tentu lebih dalam dari hanya sekadar menanyakan pelajaran. Karena ilmu bisa diperoleh di mana saja dan dengan siapa saja sedangkan pembelajaran yang kita pahami adalah tentang kelas, angka, peringkat, bacaan dan lainya. Padahal aktivitas anak seperti bermain, berlari, melompat, menangis, tawa, bicara juga merupakan pembelajaran dasar guna meningkatkan kemampuan motoriknya.

Ketiga, menanyakan sudah makan atau belum? pertanyaan selanjutnya merupakan dimensi biologis di mana manusia perlu mengisi tubuhnya dengan makanan. Kita tahu anak-anak masih di fase oral dalam bahasa dinamika kepribadian ala Freud. Di mana anak-anak masih mengalami kenikmatan yang berada di mulut. Sehingga menanyakan makan tak kalah pentingnya apalagi masakan kesukanya yang menggugah selera. Mengapa makanan? karena kita harus paham bahwa dari makananlah kita bisa menyalurkan cinta. Banyak anak yang kehilangan selera makan mungkin bukan karena karena lauk pauknya melainkan karena sikap atau usaha orang tua yang egois terlalu memaksa. Seharusnya biarkan anak memilih makanan sesuka hatinya. Jangan lupa lewat perantara makanan orang tua bisa menyisipkan pembelajaran tentang arti rasa syukur, kesederhanaan, perjuangan petani, etika makan, serta cermin kehidupan lainya.

Seperti yang telah dipaparkan bahwa minimal 3 hal itu yang kita coba untuk tanyakan pada anak. Dengan pertanyaan sederhana itu setidaknya aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pada anak bisa terlewati dengan baik. Mari selama kita masih memiliki anak kecil usahakan memposisikan mereka sebagaimana mestinya, ajak mereka bicara, ajak mereka bercengkrama. Anak adalah raja yang harus diposisikan dengan ketegasan bukan memanjakan. Sehingga setelah semua terjalin dengan baik Insyaallah saat diberi stimulus atau perintah apapun anak-anak akan melakukan dengan sepenuh hati tanpa merasa dipaksaan.

the woks institute l rumah peradaban 15/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...