Langsung ke konten utama

Kiai Muiz Ali: Buatlah Rumahmu Seperti Pesantren



Beliau saat memberi dialog "Satu Pesan Seribu Jalan"

Woks

Suatu hari saat kami akan sowan ke ndalem kiai Muiz, kami bersantai dahulu di warung kopi. Kebetulan pada saat itu kami ada agenda diskusi ringan di warkop tersebut. Sesaat aku melihat ada seorang bapak dengan baju batik dan sarung sederhana sambil menghisap rokok yang ternyata beliau adalah kiai Muiz. Entah mengapa beliau datang ke warkop yang ternyata setelah ku ketahui beliau sering sekali berkunjung ke warkop tersebut.

Kata beliau sesekali kiai datang ke warkop itu boleh, tak jadi masalah. Justru di warkop tersebut bukan untuk mencari perempuan melainkan menjadi juru dakwah tersembunyi. Orang lain kan tidak akan tahu siapa kita sehingga saat beliau mengenal seseorang lalu ngobrol di sanalah pesan dakwah ditanamkan. Termasuk di malam itu aku mendapat pencerahan dan penyegaran pikiran. Banyak hal yang beliau sampaikan termasuk pesan bagi generasi muda untuk sungguh-sungguh dalam mencari ilmu sebab generasi beliau sudah beranjak tua. Maka perlu ada regenerasi sejak dini mungkin.

Beliau bercerita bahwa mendidik anak di era modern saat ini amatlah sulit. Berbeda dengan masa-masa beliau kecil dulu moda transportasi dan teknologi belum semasif saat ini. Dulu mendidik anak dengan istilah pamali anak sudah nurut tapi sekarang doa panjang lebar pun tak belum tentu mampu membuat anak taat pada perintah. Sehingga pendidikan kreatif sangat perlu dicari sebagai jalan keluar mendidik anak. Kata beliau, saat anaknya di pondokan ke pesantren si anak tersebut malah pulang lagi ke rumah padahal mondok baru dapat satu hari. Setelah itu si anak tersebut dikembalikan lagi ke pondok dan ternyata ia pulang lagi dan hal itu berulang hingga ke sekian kalinya.

Setelah itu beliau tidak habis akal untuk menitipkan ke pondok yang lebih jauh dari rumah tujuannya agar dia tidak bisa pulang sendiri. Singkat cerita si anak tersebut dapat satu minggu, memang sih anak tersebut tidak pulang tapi kali ini malah beliau mendapat kabar lewat telepon bahwa anaknya sakit. Akhirnya beliau ke pondok untuk melihat kondisi anaknya dan ternyata anak tersebut harus dibawa pulang. Beberapa hari setelah sembuh anak tersebut dibawa lagi ke pondok dan satu minggu setelahnya ia sakit lagi dan terus berulang. Akhirnya merasa kasihan dengan anak tersebut maka beliau memutuskan sudah dipulangkan saja.

Saat di rumah beliau berpikir untuk tidak menyalahkan anak lantas beliau bertekad untuk membuat rumah seperti terasa di pondok. Rumah tersebut terdapat pengajian walaupun bukan kitab kuning ala pondok setidaknya ajaran ngaji Qur'an, shalat berjamaah, roan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sebagai santri tidak boleh dilupakan. Jika tidak mampu membuat anak betah di pondok setidaknya rumah bisa menjadi sarana efektif agar anak juga bisa mengaji. Di sinilah perjuangan orang tua untuk mendidik anak di tengah gempuran teknologi. Urusan yang lain semua diserahkan kepada Allah swt. Kita tinggal mendoakan semoga anak tersebut dapat menemukan jati dirinya.

Perlu diingat pula karena lewat ibulah Imam Syafi'i dawuh bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sehingga membersamai perkembangan anak sangatlah penting. Jangan sampai anak terdidik oleh citarasa jalanan yang pongah dan tak tau etika. Anak sebagai aset masa depan sejatinya perlu diperhatikan jangan sampai mereka diterlantarkan. Membuat rumah dengan iklim belajar yang asyik malah justru menjadi ide kreatif agar anak lebih mengenal dekat dengan orang tuanya. Seperti halnya kian hari banyak home schooling berjamuran itu pertanda bahwa anak merasa terkekang jika harus terlibat dalam pendidikan formal yang penuh tuntutan itu. Alih-alih anak diajak menjadi dirinya di sana justru malah membuat anak terkotak-kotak menjadi orang lain. Lebih ironi lagi ketika lulus yang didapat hanya deretan angka dalam selembar ijazah, pulang merasa terasing di kampung halaman. Mari kita rawat anak sejak di rumah, buat mereka nyaman dan gandeng terus tangannya untuk menemukan jatidirinya tanpa perlu paksaan.

the woks institute l rumah peradaban 19/2/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...