Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan untuk 67 Tahun IPNU




Woks

24 Februari kemarin tepat 67 tahun usia IPNU berkiprah sebagai organisasi pelajar di bawah payung Nahdlatul Ulama. Organisasi yang lahir di Semarang itu kini masih eksis sebagai roda yang membawa pelajar untuk terus belajar dalam beratnya perjuangan. Tantangan demi tantangan zaman telah dilalui organisasi yang didirikan oleh Prof KH Tholhah Mansyur tersebut dan saat ini para pelajar sedang berkutat dengan keadaan digitalisasi yang masif. Jika kita amati 67 tahun tentu bukan usia yang muda untuk sebuah organisasi pelajar. Akan tetapi IPNU membuktikan pasca kemerdekaan Indonesia mereka masih berdiri kokoh bahkan masih akan terus membesar.

Di acara harlah tahun 2021 ini IPNU menggagas tema yang sangat relevan dengan keadaan zaman yaitu "Transformasi Pelajar Untuk Peradaban Bangsa". Tema tersebut menarik untuk ditelisik lebih jauh karena mau tidak mau organisasi ini minimal mampu mewarnai zaman. Bahkan mempertahankan konteks peninggalan zaman dulu yang masih baik adalah tantangan tersendiri. IPNU di bawah komando sahabat Aswandi Jaelani tentu akan terus berlari hingga 2022 bahkan bisa terus berlanjut.

Keadaan bangsa yang kian hari penuh tantangan dan kecemasan itu tentu perlu pemikiran dan tindakan yang cemerlang guna ikut memecahkan masalah. Tidak hanya dengan adanya teknologi yang mengkhawatirkan kita juga masih tengah berjuang melawan pandemi. Keadaan yang telah mematikan sebagian aktivitas pembelajaran tersebut tentu sangat berdampak bagi jutaan anak Indonesia yang mengenyam pendidikan formal.

IPNU didorong untuk terus berkreasi dan berinovasi bagaimana cara agar pendidikan bisa selaras dengan pandemi. Tidak lupa pula untuk terus memperkaya diri dan wawasan melalui seminasi, pendidikan tinggi, public speaking, budaya literasi, kontribusi di tengah pandemi, penguatan akidah aswaja, penguatan kepesantrenan, tradisi budaya dan kebangsaan. Seminasi bisa diperoleh dengan mudah karena saat ini ilmu tersebut bisa diakses dengan mudah melalui berbagai platform media online. Tinggal aktifkan paketan, siapkan waktu, sekali klik kita bisa mengikuti kajian sesuai pilihan. Selain itu mengerti tentang jenjang perguruan tinggi juga sangat penting karena pelajar NU harus mampu bersaing dalam meningkatkan kualitas diri lewat perguruan tinggi. Selain itu berbagai skill dan penguatan budaya literasi masih harus terus ditingkatkan karena dewasa ini tantangan kita bukan melawan musuh bersenjata melainkan melawan musuh di media maya. Setidaknya literasi dasar berupa penguatan baca tulis, perpustakaan, numerasi, ekonomi dan digital harus sudah dikuasai.

Seiring berjalanya waktu kegiatan besar seperti konsolidasi organisasi, penguatan kaderisasi, pengembangan inovasi, ketahanan informasi dan pemantapan ideologi juga harus diimbangi dengan pemahaman yang kuat antar anggota. Sehingga antara pengurus di masing-masing jenjang wilayahnya bisa mengerti seutuhnya bahwa IPNU sejak dulu ingin mewujudkan trilogi organisasi belajar berjuang dan bertaqwa. Sinkronisasi tersebut tentu harus selaras dengan komando bersama sekitar 5,6 juta anggota yang berbasis kepelajaran itu.

Secara sempit yang saya amati baik IPNU maupun IPPNU selama ini selain enjoy di bidang kaderisasi kalangan akar rumput tanpa disadari di sisi yang lain masih terjadi kelemahan. Sebagai wadah organisasi dari pusat hingga ranting IPNU masih berada di level zona nyaman khususnya di tingkat terbawah dalam struktur organisasi. Mereka masih di tataran pengembangan (amaliyah) berupa rutinan yang bersifat tradisi dan keagamaan dan bagaimana caranya mengabdikan diri kepada masyarakat (khidmah). Selama ini saya amati mereka masih belum secara intensif terjun ke bidang kajian (ilmiah). Bagian ketiga inilah yang justru menjadi tantangan ke depan guna mewujudkan cita-cita di tema harlah kali ini. Maka dari itu pada poin ketiga inilah IPNU harus bertransformasi guna melahirkan kader yang mampu berkontribusi, menjaga marwah organisasi, menguatkan militansi dan komitmen kebangsaan.

the woks institute l rumah peradaban 25/2/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...