Langsung ke konten utama

Musibah dan Kemurahan Hati Masyarakat



Aliansi Mahasiswa Jawa Barat (AlJabar) dalam kegiatan donasi.

Woks

Pada tahun 2018 Indonesia dinobatkan oleh salah satu badan amal dunia Charities Aid Foundation sebagai negara paling dermawan di dunia dari 140 negara. Hal itu terjadi berdasarkan kriteria suka membantu dalam bentuk donasi, sukarelawan, hingga membantu orang asing. Di kancah internasional Indonesia sering membantu penanganan bencana mulai dari kasus kelaparan hingga tragedi kemanusiaan seperti di Palestina. Di dalam negeri sendiri masyarakat kita termasuk kategori dermawan, salah satunya sering membantu lewat dompet peduli, donasi baik dari media online maupun di jalanan. Kemurahan hati bangsa Indonesia memang perlu dipertahankan. Betapapun kita sebagai negara berkembang toh sebagai masyarakat yang mewarisi budaya Timur kita tidak boleh kalah dengan negara maju sekalipun.


famplet hasil donasi

Persoalan kemurahan hati bangsa kita memang telah lama hidup di tengah masyarakat. Bisa saja setiap suku bangsa memiliki kemurahan hati tersendiri terutama saat dilanda musibah. Musibah atau bencana memang bisa menyatukan setiap orang untuk membantu, menghibur, berderma dan usaha sosial lainya. Tidak hanya itu keadaan menghimpit adalah kondisi di mana orang mudah tergerak hatinya. Mereka selalu ingin berbuat suka rela dalam meringankan beban derita orang lain. 

Kemurahan hati bangsa kita memang tidak hanya dari cerita belaka melainkan sudah dilevel sikap dan tindakan. Sejak zaman kolonial bahkan sikap kemurahan hati itu masih dipegang erat. Bahkan sampai ada anekdot mengapa bangsa kita dijajah lama oleh Hindia Belanda itu karena terlalu murah hatinya kita kepada mereka. Dalam konteks yang berbeda konon pendiri NU Mbah Hasyim Asy'ari justru malah bersikap baik dan bahkan sering mendoakan mereka. Itulah salah satu sikap di mana kita tetap murah hati walaupun kepada musuh.

Adanya musibah pasti ada hikmah yang terselip. Di antara yang kita catat adalah musibah justru menjadikan tempat kita beramal. Tanpa adanya musibah rasa satu suara, satu tindakan tidak bisa dilakukan bersamaan. Musibahlah barangkali dihadirkan untuk menguji kesabaran seberapa dalamnya rasa kemanusiaan kita. Pendek kata musibah adalah salah satu luka di tubuh, jika satu tubuh tersayat maka yang lain akan merasakanya. Di sinilah rasa empati kita terbangun untuk sama-sama membantu tidak peduli seberapa besar kecilnya bantuan tersebut.

Perlu diingat lagi bahwa jika ingin membantu niatkanlah karena Allah swt bukan karena hal lain misalnya sosial. Sebab jika niat bukan karena Allah swt biasanya manusia mudah kecewa tapi jika diniatkan karena sang maha kuasa kita pasti yakin akan ada balasannya. Cepatlah pulih negeriku aku rindu saat-saat kita bercengkrama berbagi tawa dan kapan bisa main lagi. Senyum semesta untuk semuanya.

the woks institute l rumah peradaban 14/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...