Langsung ke konten utama

Hierarki Rasa Menerbitkan Buku Perspektif Psikologi




Woks

Bagaimana rasanya menulis, bagaimana rasanya jika tulisan tersebut dibukukan, terbit, beredar ke muka umum hingga tiba di hati pembaca. Tentu segala rasa itu sangat subjektif tapi sedikitnya bisa dijabarkan walaupun setiap orang punya pengalaman tersendiri. Saya punya 3 pendapat bagaimana rasanya punya buku dan sampai dibaca oleh orang lain. Secara psikologis hal itu dapat kita jabarkan secara singkat.

Secara hierarkis 3 tingkatan rasa tersebut bisa kita lihat dari sejak kehadiran buku pertama hingga buku ke sekian. Pertama, akan muncul rasa bangga, senang, haru, campur aduk bahkan agak sedikit pamer atau semi-semi riya. Akan tetapi di fase ini penulis masih belum hilang rasa mindernya karena kepercayaan diri belum terbangun seutuhnya. Rasa percaya diri hanya terbangun untuk menerbitkan saja sehingga godaan untuk konsisten menulis bisa dilihat di sini. Fase ini biasanya terjadi pada buku pertama, bahkan buku antologi alias buku keroyokan pun jika lahir pertama begitu nampak berharga.

Kedua, penulis sangat merasa biasa saja karena kepercayaan diri sudah mulai terbangun. Percaya diri sangatlah penting di fase ini dan selanjutnya karena akan terlihat semakin konsisten atau tidak sama sekali. Fase ini biasanya terjadi di buku kedua. Saat kelahirannya pasti akan banyak pujian dan apresiasi dari orang-orang. Jika penulis menanggapi pujian secara berlebihan maka bisa sangat mungkin hal itu justru akan membuatnya terlena.

Ketiga, di sini justru terbalik penulis malah akan merasa minder, cemas, risau atau dalam bahasa lain fluktuasi diri. Rasanya malah aneh hampir kembali saat pertama menerbitkan buku. Pengalaman kedua justru malah menjadi keruh karena faktor pikiran. Hal itu terjadi karena adanya kecemasan sistemik yang terbangun seperti konstruk pujian yang berlebihan, menolak terkenal, takut dihujat, takut dicaci, dihakimi, takut salah, atau rasa minder yang lainya. Bukankah semakin banyak menerbitkan buku semakin terbiasa dalam mengelola rasa? faktanya tidak. Karena semakin sering menerbitkan buku seseorang dituntut tidak stagnan. Seseorang justru punya beban ganda akan khualitas tulisanya. Sehingga penulis akan mengalami keguncangan batin secara personal. Pikiranya akan bergejolak bagaimana nanti ketika masyarakat membaca tulisanya. Pikiran tersebut akan dikonversi menjadi sekian kulkulasi bagaimana dan bagaimana padahal sejatinya ia sedang melawan pikiranya sendiri. Secara psikologis hal itu terjadi alamiah karena penulis berinteraksi dengan banyak orang. Lantas bagaimana selanjutnya.

Selanjutnya menjadi catatan tersendiri bahwa jika hanya sekadar menerbitkan tentu semua orang bisa. Yang terpenting adalah konsistensi menulis itu sendiri. Kemudian tetap memotivasi diri dalam karya. Sehingga karya dari tulisan kita terasa berbobot. Jika pun bukan khualitas isi setidaknya perjuangan menulis itulah yang akan orang nilai. Sebab dewasa ini banyak tulisan yang nampaknya biasa akan terlihat berbobot karena penulisnya sudah bergelar mentereng dan punya nama besar. Soal ini ada bab tersendiri yang kapan-kapan kita bahas.

Yang jelas bahwa menerbitkan buku atau memiliki karya sendiri adalah dambaan setiap orang. 
Hal itu adalah jawaban atas kritik terhadap diri sendiri bahwa kita dalam hidup tidak hanya punya buku nikah, buku resep masakan atau buku tabungan saja melainkan buku karya sendiri. Terlepas tidak begitu penting bagi orang lain tapi memang kepentingan itu bukan milik sebagian orang melainkan kepentingan sejarah. 
Mari kita ingat pesan Almaghfurllah Prof Dr KH Mustofa Ali Ya'kub bahwa "jangan mati sebelum punya buku". Lewat buku kita yang bisu bisa bicara, kita yang biasa bisa didengar dan kita yang kecil akan nampak berharga. Karena sesungguhnya tulisan adalah bagian dari menzakati pikiran dan berbagi kepada sesama.

the woks institute l rumah peradaban 11/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...