Langsung ke konten utama

Menelusuri Kebaikan Lewat Tradisi Menulis




Woks

Tradisi literasi memang selalu identik dengan kegiatan baca tulis sehingga kian hari kita semakin akrab bahwa dunia tercipta lewat peradaban tulisan dan bacaan. Sejak berabad-abad lamanya kita mengenal peradaban karena ada bukti berupa tulisan yang dibaca, tulisan atau gambar yang tersebar di dinding gua. Andai penemuan berupa artefak, dluwang, manuskrip atau naskah kuno yang memuat simbol, angka dan kata tidak pernah terjadi mungkin saja hingga hari ini dunia gelap gulita. Kegelapan dunia bukan semata karena ketiadaan matahari bersinar melainkan sebab peradaban yang belum terdokumentasikan. Untung saja sebagian kita meyakini bahwa nenek moyang adalah seorang penulis yaitu orang yang masih berpikir bahwa sebelum langit runtuh masa depan akan terus berlangsung.

Keyakinan bahwa media tulis sangat efektif untuk berkontribusi kepada masyarakat adalah reka ulang tentang sejarah. Sehingga kian hari orang akan sadar betapa pentingnya kegiatan ini berlangsung. Akan tetapi tidak semua kesadaran itu nyata jika hanya sekadar sadar tanpa ada realisasi bahwa menulis itu mudah. Selama ini kita masih banyak menelurkan alasan tanpa pernah menuai tulisan.

Buku Membumikan Literasi (2020) adalah kumpulan tulisan teman-teman di komunitas menulis Sahabat Pena Kita (SPK) Cabang Tulungagung. Isinya ada 46 tulisan dari jumlah 64 penghuni grup. Ya buku ini merupakan karya antologi pertama yang telah disusun dalam rangka memberi kontribusi. Seperti yang telah dipaparkan di muka bahwa hadirnya buku ini merupakan cara merawat peradaban lewat jalan menulis. Buku ini pula merupakan upaya untuk merawat kesadaran bahwa dunia perlu diabadikan karena saking banyaknya ilmu yang tercecer untuk diwadahi.

Dalam buku tersebut Dr Ngainun Naim memberi pengantar sekaligus motivasi bahwa menulis perlu habituasi sejak dini. Membangun tradisi menulis tidak ujug-ujug simsalabim akan tetapi perlu perjuangan sekuat tenaga. Maka dari itu perlulah kita meluangkan waktu sejenak untuk segera menulis, hilangkan segala macam alasan, jalinlah kolaborasi antar sesama penulis, ikutilah grup yang memberdayakan potensi menulis dan mulailah menulis dari sekarang.

Dari buku itulah kita merekam bahwa lewat tradisi literasi yang konsisten kita akan mendapat manfaatnya. Selain semakin produktif dalam berkarya minimal kita juga akan menghargai setiap proses kreatif orang lain dalam menulis. Jika setiap tulisan makin variatif tentu kita sudah turut serta dalam mencatat kebaikan. Jika kebaikan telah terorganisir dengan baik maka hal itu akan menjelma sesuatu yang akan terus mengalir jariyah pahalanya. Kita tidak pernah tau siapa yang membaca akan tetapi kepercayaan itu harus terus dipupuk sejak dini sebagai optimisme tiada henti. Tulisan pada akhirnya akan lebih abadi ketimbang penulisnya.

the woks institute l rumah peradaban 24/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...