Langsung ke konten utama

Ta'aruf Virtual Santri Baru PSP 2021


Ta'aruf santri PSP melalui google meet

Woks

Alhamdulillah bertepatan dengan malam kedua di bulan rajab kita bisa bersua di acara masa ta'aruf dalam rangka penerimaan santri baru. PSP atau Pusat Studi Pesantren IAIN Tulungagung menginisiasi acara tersebut sebagai media saling sapa dan silaturahmi. Walaupun masih dalam keadaan pandemi acara tersebut tetap berlangsung secara daring melalui google meet.

Saya yang amatir ini begitu bangga dan terkesan ketika ditunjuk sebagai MC plus moderator alias pemandu jalanya acara. Walaupun pada malam tersebut presensi kehadiran santri masih tergolong minim tapi tidak mengurangi kita untuk sekedar bertegur sapa. Dr Muntahibun Nafis selaku pengasuh PSP mengatakan dalam sambutanya bahwa di organisasi kecil ini kita sudah dikenal di masyarakat sebagai pusat kajian yang punya nama. Beberapa tawaran untuk mengisi kajian dan mentoring terkait kepesantrenan pun datang silih berganti termasuk tawaran kerjasama dalam berbagai bidang. Intinya PSP sudah dilirik dan tinggal kita sebagai pelaku sudah siapkah merespon keinginan masyarakat tersebut.

Beliau juga bercerita sekilas bahwa PSP ini masih seumur jagung yang dulu sejarahnya merupakan keinginan untuk menggali, mengembangkan sekaligus mempertahankan khazanah pesantren yang begitu kaya ini. Karena bagaimanapun juga pesantren adalah pendidikan tertua yang ada di negeri ini. Maka tak salah jika Ki Hadjar Dewantara pada 1936 pernah berkata bahwa "pendidikan yang cocok buat bangsa ini adalah pesantren". Beliau juga menambahkan sekaligus berharap bahwa melalui PSP ini mari kita saling belajar menghidupi lagi dunia santri yang penuh kearifan itu. Program-program yang sudah ada seperti ramadhan fil jamiah, kajian literatur pesantren, amaliyah, ubudiyah, seminasi, workshop dll bisa terus dikembangkan lagi termasuk membingkai kepengurusan dan arah gerak organisasi sesuai dengan visi misi kepesantrenan.

Dr Rizqo Ahmadi sebagai salah satu perwakilan assatidz PSP juga memberikan wedjangan bahwa satu hal yang perlu dicatat dalam sebuah organisasi di manapun juga yaitu tentang kemandirian. Ya, mandiri harus menjadi landasan kuat sebuah organisasi agar berjalan baik sesuai dengan khittahnya. Tentu mandiri di sini dimaknai secara komprehensif meliputi SDM, sarana, dukungan hingga niatan yang baik. Mentradisikan kembali khazanah pesantren terutama di kalangan akademis kampus sangatlah penting karena 5 tahun terakhir ini pesantren sebagai institusi baik modern maupun tradisional sedang dilirik oleh banyak kalangan. Maka dari itu kaderisasi sangatlah diperlukan guna mencapai keberlangsungan pesantren sebagai akar budaya dan jati diri bangsa terus lestari. Yang terpenting adalah jangan sampai PSP ini punya visi misi besar akan tetapi tidak diimbangi dengan strategi yang mapan sehingga nantinya hanya akan menjadi kemasan semata alias formalitas.

Acara ta'aruf yang saya klaim bertemakan "Santri: mengenal untuk mencinta & mencinta untuk merindu" tersebut sangat tepat guna saling mengenal satu sama lain. Saya membuka pengantar di awal bahwa bagaimanapun juga seorang santri mahasiswa akan membawa tanggungjawab berupa tridarma perguruan tinggi yaitu dalam bahasa santri adanya ta'lim-tarbiyah-ta'dib (pendidikan), ilmiyah (penelitian), dan khidmah (pengabdian).

Selanjutnya segala aktivitas yang nantinya berjalan di PSP tentunya akan bersanad. Di sinilah kita berhutang jasa dengan meminjam istilah Buya Kamba dalam "Buku Kids Zaman Now: Menemukan Kembali Islam" sanad tarekat virtual. Artinya kita sebagai santri akan punya sanad dengan masyayikh di PSP, walaupun jiwa raga belum sempat bersua. Selain itu spirit untuk membumikan khazanah pesantren harus dibuktikan dengan semangat belajar pula. Maka dari itu dari acara inilah kita berharap ke depan bisa saling sinergi bekerja sepenuh hati untuk membumikan ajaran shalafuna shalih yang penuh kearifan.

the woks institute l rumah peradaban 14/2/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...