Langsung ke konten utama

Capital Mart dan Kontroversinya



Woks

Bisnis ritel semakin hari memang sangat menguntungkan. Selain menjajakan barang jasa dalam jumlah kecil, konsumen sendiri dipermudah dalam proses pembeliannya. Mereka akan dimanjakan dengan barang yang tinggal memilih sesuka hati tanpa perlu bingung dengan jumlah yang banyak. Di tambah lagi segala macam strategi marketing mulai dari diskon hingga give away selalu merangsang untuk berbelanja.

Tapi taukah kita bahwa bisnis ritel terutama pasar modern sesungguhnya telah mengikis bisnis yang sering kita sebut pasar tradisional. Karena banyak faktor kian hari banyak pedagang tradisional yang terkena imbas dari keberadaan ritel modern tersebut. Federasi Organisasi Pedagang Pasar Indonesia (Foppi) mecatat, di seluruh Indonesia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional sebesar 8% per tahun. Pada saat bersamaan, pertumbuhan pasar modern justru sangat tinggi. Mengambil contoh periode 2004- 2007, laju pertumbuhan supermarket mencapai 50% per tahun. (Magdalena, 2013).

Menurut Dosen Ekonomi Maria Magdalena dalam Jurnal Unpand berpendapat bahwa mengapa bisnis ritel modern semakin banyak karena regulasi yang tidak jelas berkenaan industri ritel, terutama menyangkut jarak lokasi ritel, menambah berat upaya melindungi ritel-ritel tradisional yang ada di Indonesia (Utomo, 2011).

Pasar modern yang terdiri dari minimarket, supermarket dan hipermarket sesungguhnya sejak lama menuai kontroversi. Terutama ketika peritel atau toko modern asing masuk ke dalam negeri. Nama-nama seperti Carrefour (Prancis), Metro AG (Jerman), Family Mart dan Lawson Korsel dan Jepang juga berdiri di Indonesia. Belum lagi mart-mart milik dalam negeri seperti Alfa, Indo dan afiliasinya juga turut berjamuran ke seluruh wilayah Indonesia. Pada faktanya demikian, saat ini kita tidak sulit untuk menemukan segala macam mart-mart itu bahkan di desa sekalipun. Mini market tersebut hampir seperti rumah ibadah umat Islam di mana-mana mudah ditemui.

Salah satu kontroversi yang masyarakat resahkan dengan adanya ritel modern itu adalah pertama lahan yang tentunya membutuhkan ukuran yang luas. Padahal secara regulasi peritel modern boleh beroperasi di lahan seluas 400 M persegi - 5000 M persegi dari kategori mini market hingga supermarket. Seperti yang dicatat oleh Magdalena bahwa ritel modern tersebut ada yang menyalahi aturan berupa jarak lokasi toko yang berdekatan. Belum lagi mereka menggunakan listrik dalam jumlah besar. Tentu perkara ini bisa kita saksikan betapa kuatnya cahaya lampu yang menerangi toko modern ini. Jika masalah harga yang hampir dua kali lipat tentu bukan rahasia umum lagi. Tapi bagaimana pun masyarakat lebih memilih belanja ke ritel modern daripada ke toko tradisional.

Jika sudah berjamuran ritel-ritel modern tentu kita tinggal menunggu saja kematian para peritel tradisional tiba. Hal itu juga diperparah seperti analisis Bhima Yudistira (INDEF) bahwa saat ini kita sedang dalam fenomena meningkatnya leisure economy atau belanja untuk rekreasi. Cara belanja yang hanya disesuaikan dengan keinginan semata itu lebih lagi saat ini semua hampir berbasis online. Di sinilah sepertinya para pemilik ritel tradisional harus bisa bersaing dengan berbagai inovasi dan tak kalah pentingnya seharusnya ada regulasi yang bijak dari pemerintah untuk melindungi dan mengatur jalur ekonomi tersebut agar lebih baik. Masihkah kita akan kalah dengan para pebisnis kapitalis yang menguasai pasar? sepertinya kita harus mengurai benang kusut ini.

the woks institute l rumah peradaban 21/2/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...