Langsung ke konten utama

Podcast Menulis Sebagai Inovasi Literasi Digital




Woks

Sejak 2018 podcast menjadi ramai diperbincangkan oleh khalayak. Bahkan beberapa pakar menyebut bahwa podcast adalah transformasi radio digital yang akan membangkitkan para pendengarnya. Podcast yang diperkenalkan oleh jurnalis the Guardian Ben Hammesley pada 2004 itu kini terutama di masa pandemi benar-benar menjadi idola. Bayangkan saat ini kalangan artis lewat podcast mendadak menjadi sang ahli atau influencer. Mereka membicarakan apa saja terutama topik-topik yang sedang up to date.

Podcast atau play on demand dan broadcast kini berkembang hingga diadopsi oleh berbagai perusahaan seperti ipod dan Apple. Sejak 2018 itulah podcast menjelma menjadi marketing trends yang handal. Dari dua perusahaan besar itu podcast dikenal dengan ipod dan broadcasting serta Apple audio blogging. Podcast yang dalam bahasa Indonesia berarti siniar atau file audio yang diunggah di internet dengan tujuan di dengar. Jika kehadiran radio dan podcast untuk didengar lalu bagaimana dengan podcast menulis atau saya istilahkan dengan Pod-Writes.

Pod-Writes adalah istilah podcast dalam bentuk tulisan tentu sangat jelas tujuannya adalah untuk di baca. Di sana terdapat scrift hasil wawancara yang ditampilkan dalam bentuk narasi kata yang singkat dan padat. Pod-Writes lebih tepatnya mirip dengan pertanyaan wawancara yang kita unggah di laman sebuah blog. Tentu hasil unggahan tersebut bisa ter-update atau hasil dari wawancara yang telah lalu. 

Kehadiran pod-writes bertujuan untuk menyeimbangkan budaya lisan atau budaya tutur yang masif. Sehingga melalui pod-writes kita mengajak orang untuk membaca atau lebih tepatnya gemar dan cerdas membaca. Kita harus membuat iklim agar orang tidak menjadikan mendengar sebagai aspek satu-satunya dalam menggali informasi dan kebenaran. Justru lewat bacaanlah kita mengajak agar orang tidak berhenti peduli dengan berbagai hal, informasi dan pengetahuan. Di satu sisi cara membaca ini mendidik seseorang untuk belajar, berusaha, berproses bahwa sesuatu hal tidak diperoleh dengan instan alias cuma-cuma.

Pod-Writes atau podcast menulis sesungguhnya menjadi jembatan penghubung yang sekaligus alternatif untuk kita terus menjadi sang pembelajar. Rasa ingin tahu harus diimbangi dengan pengetahuan dan kearifan. Tanpa pengetahun yang mumpuni dan kearifan yang mendalam seseorang hanya akan menjadi barbarisme terutama di dunia maya. Media sosial sesungguhnya bermuka dua ia bisa menjadikan seseorang sang ahli atau justru sebaliknya semua faktornya bisa jadi karena emosi tak terkendali dan kurang meresapi bacaan.

Lewat media pod-writes inilah kita diajak untuk mewarnai media dengan bijak dan kreatif. Jangan mudah untuk mengikuti arus yang monoton sehingga dari sini kita berpijak untuk terus menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat lewat berbagai karya. 

Yang hanya sekedar cover atau ikut-ikutan banyak, tapi yang kreatif inovatif masih bisa dihitung jari. Sekarang anda harus menjadi salah satu dari yang terakhir disebutkan itu. Karena kita adalah user bagi setiap media yang dimiliki. Betapa tidak saat ini orang hampir semua memiliki gadget, pasar online sendiri, blog sendiri, channel YouTube, serta berbagai media sosial. Maka dari itu potensi yang demikian harus dikelola dengan baik lebih-lebih diisi dengan sesuatu yang mengandung nilai edukasi, informasi, dan pengetahuan. Karena pengelolaan media tersebut tak lain merupakan upaya menghidupkan literasi digital yang kian hari semakin penuh tantangan.

the woks institute l rumah peradaban 7/2/21

Komentar

  1. ketrampilan paling tinggi itu adalah menulis. karena menggabungkan antara pemahaman, membaca dan berbicara. keren sekali ketika pod writes ini menginfluence di kalangan akademis dan non akademis. Membayangkan Indonesia penuh dengan cendekia ulung. wowww kerenn

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...