Langsung ke konten utama

Merantau: Menimba Ilmu dan Bencana Personal




Woks

Beberapa kali ada seorang kawan yang pada akhirnya diprotes oleh tetangganya karena memilih kuliah di kota orang. Hingga akhirnya ia jadi bahan gunjingan karena ketika orang tuanya meninggal ia masih di luar kota. Jika kita amati sekilas kasus tersebut merupakan konsekuensi yang diterima perantau atau dalam hal umum orang yang tengah menjadi musafir untuk beberapa waktu. Sedangkan sebagian persepsi masyarakat perlu diluruskan perihal kasus ini.

Kasus tersebut tentu hanya sebagian yang kita catat sebagai konsekuensi tapi ada rangkaian kasus lainya yang tidak selamanya pilu. Kita ingat ceramah Gus Baha suatu ketika bercerita bagaimana sikap orang tua jika ada anaknya yang mau kuliah ke Jerman misalnya. Tentu orang tua akan berkata "jangan" karena alasan jauh, nanti terbawa orang fasiq atau seperti kasus tadi yaitu saat ada famili yang meninggal ia justru di tempat nun jauh. Tapi sebagian orang tua akan bersikap "boleh" karena dengan demikian kita bisa misalnya mengembangkan Islam di sana. Gus Baha juga mengetengahkan dawuh Mbah Moen bahwa barokahnya para imigran, pegawai dan mahasiswa Islam atau orang yang sujud kepada Allah swt semakin banyak walaupun di negeri sekuler atau atheis sekalipun.

Satu kasus yang saya alami tentu orang tua saya mengikuti pendapat yang kedua yaitu membolehkan. Secara pandangan biologis tentu semua orang tua akan berharap-harap cemas di kala mereka jauh dari anaknya. Mereka tak akan kuasa membuat anaknya kelimpungan di negeri orang. Akan tetapi dalam pandangan teologis semua sama, semua adalah bumi Allah sehingga tidak perlu takut. Toh pada akhirnya semua hal yang tidak pernah kita prediksi bisa sangat mungkin terjadi. Seperti halnya Agung H Simanungkalit (Hyt) pengasuh laman Pipoisme berkata:

bahwa konsekuensi terberat seorang perantau bukan kegagalan tapi kematian. 

Jadi pendapat Agung tersebut berkorelasi bahwa setiap kehidupan yang dianggap statis pun pasti membawa konsekuensinya tersendiri. Di sana atau di sini semua berpotensi sama-sama akan mati.

Setiap setiap orang memiliki pandangan tauhid niscaya apa yang mereka permasalahan selama ini tak akan terjadi. Saya ingat dua pesan menarik dari bapak dan kiai saya pertama anak itu di manapun ia berada jika berbuat baik maka sejatinya ia tengah menanam kebajikan. Tentu kebaikan itu orang tua akan ikut memanennya. Jadi yang di dunia dianggap penting menurut orang banyak justru belum tentu di hadapan Allah. Kedua, kiai saya pernah berpesan bahwa jika anak sedang belajar walaupun itu jauh biarkanlah jangan sampai kita kecewa di akhir cuma karena alih-alih ingin anak tetap dekat dengan orang tua dan tidak menghendaki anak belajar jauh dari mereka. 

Lebih baik kamu menangis karena perpisahan sementara dengan anak yang menuntut ilmu agama dari pada kamu akan menangis di hari tua jika melihat anak-anakmu lalai terhadap ajaran agama, begitu pesan beliau.

Di sinilah kita harus jeli melihat pilihan hidup maka dari itu segala macam keraguan serahkanlah kepada sang maha pemberi petunjuk Allah swt. Salah satu jalan lewat bertanya kepada orang sholeh dan istikharah adalah merupakan pilihan untuk kita lakukan. Dengan begitu segala macam keraguan bisa kita selesaikan lewat cara agama bukan dengan ego nafsu sesaat. Ini masih perkara perizinan anak merantau menimba ilmu bagaimana jika narasi penyembelihan kepada anak ala Nabi Ibrahim as? mungkin kita memang tak akan bisa membayangkannya.

the woks institute l rumah peradaban 28/2/21


Komentar

  1. Luar biasa mas woko,. sangat keren dan Bermanfaat tulisannya.

    BalasHapus
  2. Yang terpenting ialah yakin. Karena keyakinan akan mampu mengalahkan setiap keraguan dalam diri kita, sesuai dengan kaidah," al yakinu la yuzalu bi syak."

    Mantabek mas woko

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...