Woks
Dalam sejarah negeri Indonesia memang tidak lepas dari tragedi dan masalah. Sebagai sebuah negara berkembang permasalahan dalam negeri tidak bisa dielakan. Sejak dulu tragedi kemanusiaan, isu ekonomi, lingkungan hingga agama juga tak dapat dipisahkan. Akan tetapi walaupun demikian negeri ini masih lebih baik daripada misalnya Timur tengah yang terus berperang atau negara adikuasa yang tak pernah puas dengan kuasa.
Indonesia dalam hal beragama sangat menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Sampai-sampai agama dengan ritualitas ibadahnya diberi keluasan untuk dijalankan dengan baik. Oleh karenanya sikap saling menghormati dalam hal beragama kita anggap sebagai harmoni dan negara ini bisa disebut negara damai atau Darussalam.
Akan tetapi kedamaian itu selalu saja terusik baik di dunia nyata maupun dunia maya. Cuma sejak era medsos orang-orang mudah geger karena informasi dari dunia manapun selalu menjadi konsumsi. Akibatnya setiap orang merasa perlu untuk ikut campur dan malah memperkeruh keadaan. Bahkan dalam bahasa Tom Nichols orang yang bukan pakar pun ikut nimbrung dalam perdebatan tak berujung.
Perdebatan medsos memang selalu asyik akan tetapi masyarakat Indonesia yang paling berisik nomor 2 di dunia termasuk dengan kategori masyarakat literasi rendah. Bisa dibayangkan orang dengan tradisi tidak suka membaca akan tetapi paling aktif dalam berkomentar. Maka dari itu hasilnya tentu kita tahu, orang Indonesia mudah terprovokasi dan hal ini bagai lingkaran setan yang tak bisa diputus kecuali dengan "membaca".
Setelah beberapa waktu lalu media memberitakan kasus sesajen yang dibuang dari atas bukit di Semeru karena dianggap biang sial. Perdebatan masih berlanjut seputar keharaman wayang yang disampaikan Ustadz Khalid Basalamah dan yang terbaru adalah seputar kontroversi penggunaan speaker termasuk statement Menag Gus Yaqut. Belum lagi permasalahan dalam negeri seperti konflik Wadas, kelangkaan minyak goreng, kacang kedelai hingga masalah JHT dan BPJS. Di tambah lagi kisruh Rusia vs Ukraina semakin memanas dan menjadi topik global.
Soal Sajen dan Wayang
Soal sajen dan wayang sebenarnya sudah dibahas sejak lama akan tetapi era medsos yang latahan ini mencuat kembali. Padahal sesajen dan wayang bukan suatu masalah. Justru yang bermasalah itu adalah penerjemah manusia terhadap produk budaya tersebut. Seperti halnya ada orang yang nyinyir bahwa ajaran agama itu penuh dogma dan perlu dianulir keabsahanya. Padahal agama tidak sepenuhnya salah akan tetapi cara berpikir kita saja yang kurang tepat. Karena teks agama itu luas maka tidak bisa dipukul rata menjadi sebuah terjemahan baku.
Sesajen dihukumi haram dan dianggap pembawa sial karena alasan menyembah selain Allah. Padahal siapa pula yang memiliki tujuan untuk menyembah. Sesajen hanya sebagai sarana sedekah. Orang Jawa punya kearifan sejak dulu. Karena sajen berkaitan dengan isi hati maka seperti kata Imam Ghazali siapa pula yang tau isi hati orang.
Menurut M. Yasser Arafat, dunia kosmologi Jawa membagi dunia menjadi 3 yaitu jagat andap (dihuni setan, jin, danyangan, lelembut dll), jagat madya (dihuni manusia, hewan tumbuhan) dan jagat dhuwur/inggil (para malaikat dan sholihin). Dari ketiga dunia tersebut memerlukan perlakuan khusus di antara do'a tawasul bagi dunia dhuwur, berkatan bagi dunia madya dan melalui media sajen bagi dunia andap. Bagi orang Jawa itu pun berniat bersedekah, tidak lebih. Apa salahnya orang bersedekah. Jika niat utamanya tetap hanya kepada Allah semata.
Dalam ceramahnya kata Gus Baha soal wayang sudah dibahas sejak lama bahwa memang ada yang mengharamkanya. Pada saat itu perdebatan Sunan Kalijaga dan Sunan Giri memang tak menemui ujung. Sunan Kalijaga sebagai wali yang dulu berlatar belakang bromoncorah tentu berharap ada media yang menjadi sarana dakwah dan wayang thengul lah menjadi solusinya. Akan tetapi Sunan Giri menganggap bahwa wayang thengul hukumnya haram karena menyerupai manusia. Lalu Sunan Bonang wali senior yang lebih alim memberi penengah bahwa wayang thengul bisa dimainkan asal bentuknya pipih. Akhirnya wayang kulit menjadi solusi sekaligus menjadi identitas budaya orang Jawa.
Wayang justru terbukti menjadi sarana dakwah efektif terutama pada saat itu di mana orang Jawa kuno sangat minim tradisi yang mengandung filosofi teologis. Akhirnya akulturasi budaya tersebut berhasil menyakinkan orang Jawa bahwa wayang, tembang macapat, pupuh, adalah budaya adiluhung yang sarat akan makna. Orang Jawa merasa terwakili dengan adanya wayang karena selama ini wayang justru bukan sebagai kompetitor melainkan kolaborator antara ajaran mistik Jawa dan sufisme Islam. Akhirnya agama Islam diterima dalam masyarakat Jawa dengan tangan terbuka salah satunya lewat seni.
Soal Speaker (TOA)
Pertama, orang harus pahami bahwa TOA itu merk speaker. Jadi jika orang selalu membahas perihal benda satu ini maka perusahaan TOA tentu akan merasa diuntungkan karena produknya dipasarkan secara alami. Hal itu tak jauh berbeda ketika orang berkata Aqua terhadap merk air lainya atau Sanyo pada merk pompa air, padahal banyak merk akan tetapi orang masih saja menyebut satu merk itu.
Kedua, statement Menag Gus Yaqut tentang menyamakan speaker dengan gonggongan anjing perlu dikaji ulang. Sebab siapa juga yang menganggap hal itu menyamakan bisa kita lihat siapa yang menurunkan berita pertama terkait masalah itu. Dalam kasus ini seharusnya masyarakat sudah dewasa bahwa dalam percakapan ingat ada framing media yang berlaku.
Saya melihat Gus Yaqut sebenarnya tidak sedikitpun memiliki anggapan akan hal itu. Maksud beliau tak lain adalah bagi mereka yang menggunakan speaker harap untuk memperhatikan akan ketentraman orang. Artinya harus ada toleransi dan penghormatan terhadap sesama termasuk pemeluk agama lain.
Pada intinya penggunaan speaker itu disesuaikan dengan kondisi dan kemanfaatannya. K.H. Imadudin Al Bantani menulis dalam kitabnya "Qaul Mufid fi Hukmi Mukabir as-
Saut fil Masajid" yang diterjemahkan oleh Muhammad Raudho juga memberikan dasar hukum serta prinsip dalam penggunaan pengeras suara tersebut.
1. Di zaman Nabi Muhammad Saw tentu speaker belum digunakan. Dalam sejarah kisah sahabat Bilal bin Rabah dianggap sebagai kumandang adzan pertama yang dilakukan dengan lantang di atas ketinggian, menara, bukit atau di Ka'bah.
2. Di Masjidil Haram penggunaan speaker hanya berkumandang saat-saat waktu shalat saja. Artinya fungsi speaker di sana hanya untuk memanggil orang shalat, tidak lebih.
3. Catatan mutarajim dalam kitab ini memberi status hukum menurut madzhab Zhahiri menggunakan pengeras suara adalah fardhu a'in, sedangkan madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah hukumnya sunnah. Adzan tentu kita tahu tidak digunakan untuk panggilan shalat saja melainkan saya bayi baru lahir, saat ada angin kencang hingga adzan ketika mengkebumikan jenazah.
4. Di Indonesia menjadi bermasalah karena speaker dianggap terlalu heboh. Maka dari itu perlu adanya aturan. Akan tetapi bagi KH. Imad beliau berpendapat bahwa speaker adalah bid'ah yang diperbolehkan. Artinya selama speaker itu baik dan digunakan pada
tempatnya maka hukumnya boleh. Prinsip lainya yaitu jangan sampai mengganggu orang yang sakit, apalagi
speaker itu dekat rumah kita, dan kita memiliki bayi maka akan
buruk bahkan membahayakan, ini yang tidak boleh.
KH. Imad juga mengutip pendapat dalam Kitab Risalatu Taudlihil halaman 16 bahwa menggunakan pengeras suara untuk kumandang adzan itu boleh. Karena ada hal-hal yang perlu dikeraskan dalam syara dan hal itu sangat terpuji. Akan tetapi sebaliknya jangan sampai hal itu jadi fitnah dan sumber kegaduhan.
Mari kita lihat contoh kasus lain misalnya jika anda bersuara pas-pasan, masih belajar tajwid dan makhrajul hurufnya masih belepotan jangan berani-berani ngaji dengan speaker apalagi dengan volume tinggi, ini sangat menggangu. Jangan dikira itu syiar, justru dengan sikap demikian anda adalah orang egois dan sangat memalukan Islam.
Misalnya lagi, jika ada tetangga sakit tak usahlah pujian dengan dalih nunggu shalat atau syiar. Seharusnya kita sadar dan dewasa bahwa menghormati kemanusiaan lebih baik dari pada anggapan bahwa itu adalah titah Tuhan. Perlu diingat bahwa agama ini fleksibel dan sangat manusia. Bahkan sholat yang dimensi ukhrawi pun dan dianjurkan berjamaah di masjid bisa dilakukan sendiri di rumah kala ada wabah penyakit. Jadi beragama ini aslinya sangat mudah dan bisa dikompromikan jika kita menggunakan akal sehat (fikih). Walaupun memang di ranah tertentu misalnya aqidah tidak bisa tawar-menawar.
Ketiga, sebagai Nahdliyin tentu saya juga merasa kurang pas dengan ibarat yang dilontarkan Gus Yaqut. Sehingga anggapan pertama orang awam speaker disamakan dengan gonggongan anjing. Yang jelas anjing itu akan menggonggong manakala ada sesuatu yang menggangu dan dicurigai. Jika dalam konteks ini tentu kalau tidak berkepentingan dengan speaker tolong untuk ditahan hasrat menggunakannya sekalipun itu dalih agama.
Keempat, patut diketahui bahwa speaker bukan bagian dari agama, melainkan sarana penunjang orang beragama. Itu pun tidak disyariatkan dengan absolut. Artinya kita bisa melihat kondisi masyarakat sekitar. Misalnya di rumah tempat saya tinggal orang pujian setelah adzan sangat minim sekali terutama di saat orang beristirahat (dzuhur-ashar). Maka para muadzin juga sepatutnya bisa memahami kondisi kultur di masyarakat. Kecuali di suatu wilayah tingkat keberagaman dan toleransinya tinggi maka hal itu tidak masalah.
Kelima, kata Gus Dur jangan jadi hamba speaker yang hanya mau dipanggil dengan suara keras. Artinya orang bertaubat tidak usah nunggu musibah datang. Sebelum panggilan itu datang seharusnya orang segera sadar. Saat ini kita belajar bahwa selama ini bukan alatnya yang bermasalah akan tetapi cara berpikir kita lah yang keliru.
Di era medsos saya memang menyayangkan mayoritas netizen kita belum dewasa. Mereka lebih banyak mengutuk daripada membaca. Lebih banyak mencerca, membully daripada tabayyun betapa rapuhnya keimanan kita.
the woks institute l rumah peradaban 25/2/22
Komentar
Posting Komentar