Langsung ke konten utama

Santri dan Dunia Sastra (4) habis




Woks

Dulu di negeri Arab orang-orang bersyair menjadi tradisi dan memang membudaya. Bahkan saking maniaknya masyarakat Arab dengan sastra mereka sampai-sampai memiliki tradisi mualaqat. Mualaqat yaitu sebuah tradisi perang syair di mana mereka yang syairnya indah dan mengalahkan penyair lain maka wajib atasnya hadiah. Salah satu hadiah paling prestisius tentu syairnya akan digantung di dinding Ka'bah selama satu bulan penuh.

Selain hadiah berupa uang atau hewan ternak tentu status sosial akan terangkat. Bersyair barangkali demikian memiliki fungsi dan tujuanya tersendiri. Jika ditarik dalam konteks keindonesiaan tentu banyak yang bisa diperbuat lewat sastra. Tentu secara fungsional sastra harus bisa menjadi daya jual bagi masyarakat utamanya dalam dunia santri.

Selama ini santri dan pesantren masih belum melirik sastra sebagai sebuah fungsi praksisnya. Sastra sebenarnya jika mau dipelajari lebih dalam bisa memiliki beberapa fungsi di antaranya ekonomi, dakwah, puitika, bahasa agama, pendidikan, ilmu, literatur hingga healing bahkan di beberapa tulisan sastra bisa berfungsi menghalau radikalisme di tubuh anak muda.

Fungsi sastra secara ekonomi tentu dapat melahirkan produk sastra mulai dari karya puisi, cerpen, novel hingga naskah perfilman. Dengan begitu karya sastra justru akan membantu menjalankan misi baik itu dari pesantren maupun topik lain sesuai dengan tujuan penulis. Lewat karya sastra yang dibukukan misalnya penulis bisa menjualnya bahkan tidak sedikit orang tertarik untuk mengundang sebagai pengisi forum-forum diskusi.

Sastra juga bisa menjadi sarana dakwah. Di tengah maraknya generasi milenial yang haus akan inovasi sebagai sarana dakwah yang mudah diterima, sastra barangkali menjadi alternatif. Misalnya banyak pendakwah yang menggunakan lagu, syair dan kata-kata mutiara sebagai daya pikat ceramahnya. Di daerah Pantura kita kenal budayawan cum pendakwah Haji Abdul Adjib yang cara dakwahnya dengan metode wangsalan atau dalam bahasa Jawa timuran dikenal dengan parikan. Yaitu sebuah syair yang berisi pesan moral dengan rima a-b-a-b dilantunkan dengan iringan musik gitar suling (tarling). 

Di era kekinian nama Gus Miftah juga layak masuk dalam kategori ini. Cara dakwah beliau yang asyik dengan sering mengaransemen lagu syair juga terbukti diterima oleh jamaahnya. Tentu banyak lagi yang menggunakan metode ini seperti alm Ki Enthus Susmono, Ustadzah Mumpuni Handayayekti, Ki Sudrun hingga Gus Ulinnuha.

Sastra selain memiliki corak khas puitika yang berfungsi sebagai keindahan tentu ia juga menjadi bahasa agama. Alasannya sederhana bahwa bahasa agama dalam hal ini terdapat di al Qur'an tentu menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi. Bahkan ketika al Qur'an turun di Mekah banyak para penyair Arab yang kalah saing dengan wahyu illahi itu sehingga akhirnya mereka banyak yang menyatakan diri masuk Islam.

Secara fungsi pendidikan, sastra justru belum berjalan maksimal pasalnya guru juga belum berupaya untuk memperkenalkan kepada anak pentingnya sastra. Selama ini karya puisi atau membuat cerita pendek masih sebatas formalitas. Padahal secara kebahasaan anak-anak yang dibimbing mengenali karya sastra dengan membaca akan memberi output kelisanan. Mereka akan mudah berbahasa santun kepada orang yang lebih tua. Setidaknya mampu menghalau bahasa jalanan yang saat ini marak.

Secara ilmu sastra tentu luas peranannya sampai saat kita kesulitan mencari sosok sepadan pasca wafatnya Sapardi Djoko Damono, Prof. Budi Darma, Zainal Arifin Thaha hingga Didi Kempot. Sastra sebagai ilmu hanya bisa dipelajari secara mendalam melalui fakultas sastra di sebuah perguruan tinggi. Bisa dibayangkan jika pesantren memberi porsi sastra Islam di lembaga ini pastinya santri tidak hanya bisa mengaji melainkan melihat keindahan secara lebih dekat.

Literatur sastra di pesantren sebenarnya tidak sedikit jumlahnya bahkan hampir di berbagai kitab kuning banyak memuat syiir sebagai upaya internalisasi keindahan dari mushonif. Literatur yang menyematkan bahasa sastra di antara yang terkenal tentu Kitab Ta'lim Muta'allim, Kitab Alala, Kitab Syarh Ibnu Aqil, Jauhar Maknun, Nahdjul Balaghah, Jurumiyah, Imrity, Alfiyah ibn Malik, Qawaidul Ilal dan pastinya semua kitab maulid seperti Barjanzi, Simtuduror, Diba' hingga Dhiyaulami dll. Kitab-kitab tersebut sengaja memuat bahasa sastra salah satu mengandung pasemon, kinayah atau bahasa kias yang dari bahasa tersebut tentu menggunakan pendekatan khusus yaitu sastrawi. Kitab selain berisi ilmu juga mengandung keindahan bagi pembaca.

Salah satu fungsi sastra lainya yaitu healing atau terapi jiwa. Bisa dibayangkan sudah berapa banyak orang bertaubat dan menyatakan diri masuk Islam karena membaca sastra Rumi, Ibnu Arabi, Al Hallaj, Ibnu Athoillah Syakandary hingga Rabiah Adawiyah. Musik dan tarian sema' juga bagian dari sastra yang tak terpisahkan. Di dalamnya seperti mengandung obat sehingga siapa yang mendengarnya serasa terhipnotis. Orang yang tidak paham sekalipun akan terpana, terbius dengan bahasa yang sangat maknawi itu. Lebih lagi al Qur'an sebagai sastra tertinggi dan tak ada tandingannya. 

Maka dari itu kini kita sudah tau betapa dahsyatnya efek sastra bagi kehidupan. Sastra dan hidup memang tak bisa dipisahkan oleh karenanya sastra tidak boleh dipinggirkan. Betapa besar pengaruh sastra maka sangat pentinglah kita memberi porsi ilmu ini utamanya di pondok pesantren. Apalagi kini pesantren masuk ke abad baru modernisasi di mana harus bisa beradaptasi dan bertahan di tengah gempuran itu. Menurut Prof. Rubaidi spiritualitas, seni dan sastra adalah salah satu cara penyeimbang di kala modernitas dan teknologi semakin canggih.[]


*Artikel ini dipost juga di blog PSP UIN SATU Tulungagung

the woks institute l rumah peradaban 4/3/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...