Langsung ke konten utama

Isra Mi'raj dan Haflah Akhirussanah PP. Himmatus Salamah Srigading 2022




Woks

Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Plosokandang Kedungwaru Tulungagung mengadakan acara peringatan Isra Mi'raj dan Haflah Akhirussanah. Walaupun masih dalam pandemi Omicron acara ini alhamdulillah berjalan lancar. Acara yang bersifat internal tersebut diisi oleh santri dan pengasuh sendiri serta mengundang beberapa pondok sekitar Plosokandang di antaranya: PP. Al Hidayah, PP. Subulussalam, PP. Mbah Dul, MHM Sumberdadi, dan PP. Al Bidayah.

Pak Ali Imron sebagai Kamituo atau Kepala Dusun memberikan sambutannya bahwa keberadaan pondok sangat penting sekali bagi keberlangsungan pendidikan ilmu agama Islam. Beliau sangat berterimakasih atas segala i'tikad baik pengasuh dan santri untuk terus guyub rukun dalam mengaji dan menyukseskan acara. Beliau memberi pesan kepada santri, generasi muda untuk terus semangat dalam menimba ilmu. Kata beliau jika masa muda tidak digunakan secara maksimal proporsional maka nanti akan kecewa, "getun lek wes tuo, lek wes getun yo ra iso dibaleni neh".

Setelah itu acara Mauidhoh Hasanah langsung disampaikan Pengasuh PPHS, Panjenengan ipun Bapak Kiai Sholeh. Beliau mengaji sambil membacakan pasal dalam satu kitab mengenai pentingnya bersyukur. Kata beliau jika kita dapat makan atau memakai pakaian harus disyukuri seberapa pun sederhananya. Rasa syukur tentu tidak hanya ketika mendapat nikmat baik, saat datang nikmat buruk pun sebisa mungkin disyukuri. Karena semua hal datangnya dari Allah dan kita hamba diperintah untuk selalu taqorrub.

Beliau juga menambahkan bahwa tatakrama itu berkaitan dengan thariqoh. Termasuj orang yang paham tasawuf pasti mengerti thariqoh. Jangan sampai orang yang masuk thariqoh tidak memahami ajaran di dalamnya. Persoalan tasawuf dan thariqoh memang berkaitan dengan "rasa". Percis dalam syair Tampo Wathan yang dipopulerkan Gus Dur, "laku torekot lan makrifate... ugo hakekot manjing rasane".

Beliau juga memberi rambu-rambu kepada kita semua betapa bahayanya riya. Karena riya itu racun dan mampu merusak amal. Oleh karenanya pentingnya ilmu adalah dalam rangka mengikis riya serta penyakit hati lainya. Dengan ilmu seseorang akan paham untuk membedakan mana riya dan mana yang ikhlas.

Acara terakhir yaitu ditutup do'a oleh Pak Haji Toha (Ketua Takmir Masjid Riyadul Jannah). Beliau sebelum berdo'a berpesan kepada kita agar serius dalam menimba ilmu "ojo koyok ulo". Artinya hanya bolak-balik, mondar-mandir saja tanpa ada upaya belajar. Karena pondok merupakan miniatur masyarakat maka santri harus sebisa mungkin dapat mengamalkan ilmunya misalnya tahlil. Amalan tahlil atau sholawat Berjanzen akan sangat bermanfaat di masyarakat kelak. Demikianlah amalan masyarakat jika santri tidak mampu nanti masyarakat mau diberi apa, nge-game, ndak mungkin.

Acara ini berakhir pada pukul 22:15 malam. Acara yang diisi dengan Majelis Maulid Simtuduror tersebut berakhir dan langsung disambung dengan makan bersama dalam talaman. Semoga esok kita bersua kembali dalam keadaan paling bahagia. Amiinn

the woks institute l rumah peradaban 25/2/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...