Langsung ke konten utama

Buah Tangan Sowan Masyayikh Tulungagung




Woks

Pada hari sabtu tepat 14 Mei 2022 aku berkesempatan mengikuti kegiatan sowan masyayikh Tulungagung. Kegiatan ini terselenggara atas instruksi dari LPI Al Azhaar tempat kami berkhidmah. Acara bermula di sekolah dengan seremonial berupa pembukaan, sambutan dan pemaparan. Termasuk pembagian peta jalan, ketua rombongan dan tempat tujuan.

Kebetulan aku kebagian rute Selatan bagian I. Di sana kami mengunjungi masyayikh di antaranya KH. Masrukhan al Asror Ringinpitu, KH. Abdul Kholiq PP Mbah Dul Plosokandang dan Kyai Ali Pondok Pesulukan Wajak Kidul. Tentu rute yang lain pun melakukan rihlahnya masing-masing. Semua orang kebagian untuk sowan ke masyayikh yang sudah ditentukan.

Pastinya di setiap kiai habaib yang dikunjungi memberikan pelajaran tersendiri. Termasuk bagaimana mereka memperlakukan tamunya. Aku pun mencatat perjalanan yang sederhana nan mengesankan ini. Pertama, ketika di ndalem KH. Masrukhan kami pendapat pelajaran berupa aplikasi al Qur'an itu perlu untuk umat sebagai bentuk militansi pembelajaran. Di satu sisi kita memang perlu mensinkronkan pikiran dan hati. Dengan begitu kita terus bergerak seperti kesuksesan kalau diam ya mati maka teruslah bergerak.

Mengandalkan Allah jika mengandalkan manusia seringnya pamer. Maka tetapkan sesuatu pondasi mentalitas di atas kemenangan ruh dari Allah. Soal saling sowan silaturahmi beliau juga berpesan bahwa manusia itu banyak kesalahan maka terus meneruslah bertaubat karena Islam ditinggikan harus dibuktikan bukan hanya angan-angan. Salahn satu indikator keberhasilan ramadhan adalah tambahnya ketaatan.

Kedua, ketika di Ndalem KH. Abdul Kholiq PP Mbah kami mendapat jamuan berupa makan minum. Selain itu tersaji pula jamuan ruhani berupa dzikir dan mahalalul qiyam. Mbah Kholiq dengan latar belakang Kiai Thoriqoh memang demikian selalu mengajak jama'ah nya mengingat Allah. Beliau selalu berpesan bahwa ajaran silaturahmi sangat luar biasa. Terus dalam do'a pun beliau selalu mengajak mendo'akan saudara sesama baik yang sakit maupun yang belum bertaubat. Tidak hanya itu Mbah Kholiq itu ciri khasnya adalah sering musyafahah dan membacakan bait-bait Burdah Imam Bushri.

Ketiga, ketika di Ndalem Kyai Ali Pondok Pesulukan Wajak Kidul beliau menyambut kami dengan ramah. Beliau dan Bu Nyai walau sudah sepuh akan tetapi tetap enerjik dalam menjamu kami. Bahkan di sesi akhir kami makan bersama di serambi Masjid Jami' Baitul Auliya tempat di mana mbah beliau menalqin banyak jama'ah. Beliau juga mengajak kepada kita semua untuk terus nguri-nguri warisan ulama salaf salah satunya lewat silaturahmi atau sowan. Selalu ingat Allah walaupun belum bisa Istiqomah tapi selalu berusahalah. Di sesi akhir beliau berdo'a dengan begitu panjangnya dan tak lupa kami disuruh untuk menuliskan nama satu persatu. Alasannya sederhana yaitu agar kita semua menjadi saudara termasuk dalam ruhani.

Demikianlah catatan sederhana ku ketika sowan ke Ndalem para kiai di Tulungagung. Semoga saja esok bisa terulang kembali. Intinya buah tangan dari sowan kiai adalah apa yang kita lihat dari kiai adalah teladan, yang diucapkan adalah petuah, yang didoakan adalah keberkahan. Semua hal baik selalu kita ingat di dalam hati.

the woks institute l rumah peradaban 15/5/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...