Langsung ke konten utama

Menjadi Psikolog dengan Menulis


Tulisan tangan Kiai Ali Wajak Kidul


Woks

Menulis tentu kita tahu kaya akan manfaat. Banyak orang yang telah membuktikan bahwa dengan rutin menulis setiap pagi maka toxin dalam tubuh akan keluar. Endapan pikiran dan emosi negatif juga keluar bersama dengan proses berpikir. Selain itu menulis juga dapat menghindari resiko terkena penyakit alzheimer atau nyeri di kepala.

Ada satu hal lain yang menarik dari menulis selain dapat membantu dalam kerja metabolisme tubuh yaitu mendeteksi emosi diri sendiri maupun orang lain. Dalam disiplin ilmu psikologi hanya lewat tulisan tangan seseorang dapat dibaca kepribadiannya. Ilmu itu disebut grafologi, di mana guratan tulisan tangan membawa arti tertentu. Bagi grafolog tentu akan mampu dibaca dari tulisan seseorang dengan pendekatan tertentu. Artinya setiap kata yang ditulis atau hanya sekadar goresan semua bisa dibaca.

Kemampuan membaca orang lain tentu tidak mudah walaupun tidak menyebut sulit. Kerja-kerja demikian itu bisa diampu oleh psikolog sebagai pakar mengenai problem yang bersifat mental. Lewat menulis pun ternyata mampu untuk membaca karakter orang lain. Percis seperti Pak Daoed Joesoef bahwa menulis itu cara mengetahui kekurangan diri sendiri. Bisa dibayangkan bahwa menulis itu tidak mudah dan perlu perjuangan. Misalnya belajar dengan tekun, memilih kata, menyusun menjadi kalimat, menempatkan tanda baca, mengedit tulisan, menganalisis data hingga dinyatakan siap publish.

Menulis merupakan kerja-kerja yang membutuhkan waktu lama serta ketekunan yang intensif. Coba saja para penulis pemula apakah hasil tulisanya baik, belum tentu. Sebaliknya banyak para pakar yang tulisanya enak dibaca dan sangat baik isinya semua karena proses yang panjang. Mereka melewati penempaan yang tidak instan. Oleh karenanya cara sederhana melihat kekurangan pribadi dalah membaca hasil tulisan kita. Dengan cara itulah seseorang minimal menjadi psikolog bagi dirinya sendiri.

Menulis tidak hanya soal enak dibaca melainkan lebih jauh sudah memuat banyak hal misalnya pengetahuan dan gagasan. Tentu menulis sekadar menulis bisa sangat mungkin terjadi pada siapa saja. Akan tetapi jika menulis secara serius akan berbeda lagi. Demikian pula dengan seseorang, kata KH. Sahal Mahfudz menjadi pribadi yang baik cukup dengan hanya diam akan tetapi menjadi benar itu perlu perjuangan. Maka pantaslah menulis dan membaca merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dua metode tersebut dianggap efektif untuk menakar sejauh mana kepribadian seseorang. Dengan membaca itu tanda bahwa kita penuh kekurangan dan dengan menulis kita mengakui kekurangan tersebut. Selamat berproses.

the woks institute l rumah peradaban 22/5/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...