Langsung ke konten utama

Beragama dengan Santai (Sebuah Catatan di Kereta Api)




Woko Utoro

Setiap perjalanan dengan moda transportasi apapun yang saya tunggu adalah penumpangnya. Kali ini saya pulang kampung dengan naik kereta api. Dalam benak saya bertanya akan ada kejutan apa dengan penumpang kali ini. Ternyata benar saja setiap perjalanan selalu dapat pengalaman sekaligus pengetahuan.

Saya kebetulan duduk di gerbong dua kursi 10A. Di kursi tersebut saya duduk bersama seorang ibu dan bapak yang keduanya berasal dari Malang tapi beda tujuan. Si bapak tujuannya yaitu Jakarta dan si ibu Caruban. Sedangkan penumpang lain di kursi yang sama yaitu tujuan Tegal dan Kendal. Di sinilah awal dari perbincangan kami ketika saya ditanya dari mana. Spontan saya menjawab dari Indramayu, dekat Pondok Al Zaytun.

Mendengar nama Al Zaytun mereka langsung tercengang dan bertanya-tanya pada saya. Akhirnya satu persatu pertanyaan saya jawab. Intinya tidak sampai menimbulkan kegaduhan bahwa apa yang selama ini mereka ketahui dari media tidak sepenuhnya benar. Setelah itu barulah topik berganti kali ini giliran sang ibu bercerita banyak hal terutama tentang perilaku orang beragama.

Si ibu berkisah bahwa dirinya hidup di perumahan daerah Malang kota. Di sana ia hidup berdampingan dengan beragam orang terutama dengan afiliasi ormas keagamaan seperti NU, MU, LDII, Al Irsyad dll. Singkat kisah ia sadar bahwa ilmu agama itu penting. Maka di tengah kesibukan si ibu berniat untuk belajar al Qur'an. Ia belajar al Qur'an kepada seseorang di depan rumahnya. Ia anggap seseorang di depan rumahnya itu adalah ahli agama. Karena beberapa tetangga belajar juga ke sana. Untuk menunjang pembelajaran si ibu juga membeli kitab tafsir terjemahan. Katanya hal itu bisa membantu, setidaknya untuk dibaca dan dimaknai.

Selang beberapa lama ia belajar al Qur'an pada tetangga tersebut lalu ada yang mengganjal hatinya. Hampir di setiap pembelajaran baca al Qur'an itu sang ustadz juga memberikan tausih. Tausiah yang disampaikan berisi ajaran tauhid, fikih, hadits dan lainnya. Tiba-tiba semakin lama pembelajaran semakin membosankan. Ia bahkan tidak nyenyak tidur karena kepikiran apa yang disampaikan ustadz tersebut. Makin hari pembahasan merujuk pada halal haram, surga neraka, sah tidak absah, afdhol, kafir kafir, dan ketidaksempurnaan. Dari itu si ibu semakin bingung dan berpikir mengapa Islam seribet ini.

Lalu si ibu diingatkan oleh teman duduk dari Tegal bahwa memilih guru itu harus selektif. Karena memilih guru sama dengan memilih ilmu. Dari siapa pengetahuan kita terutama tentang agama maka penting sekali guru tersebut. Terlebih guru yang sanad keilmuan jelas dan diakui. Si ibu juga sebenarnya berpikir demikian bahwa agama itu seharusnya disampaikan seperti Gus Baha atau Gus Iqdam nampak begitu sejuk dan santai. Walaupun kita tahu agama itu mudah tapi jangan dibuat mudah.

Kata si ibu jika agama hanya dimaknai sedikit-sedikit haram, tidak sah, lalu neraka maka serasa begitu ketat. Ia yang dulu belajar agama dengan sederhana tetiba ketika bertemu ustadz kenceng seolah berubah menjadi kaku. Kadang ia berpikir mengapa dalam agama ketika kita banyak tahu justru semakin berat dalam hal larangan, dosa dan pahala. Seolah kita lebih baik menjadi orang tidak tahu sepertinya enak tidak ribet.

Lalu si bapak dari Tegal menimpali. Jika pikiran kita ingin menjadi orang biasa saja dalam pengetahuan agama maka hal itu sama seperti anak TK. Anak TK yang belajar agama dan selama hidupnya tidak naik kelas. Kita sebagai hamba yang diberi akal laiknya harus menggunakan perangkat canggih dari Allah tersebut. Termasuk jangan mengobral kata kafir. Karena kafir itu kata dasarnya menutup. Jadi siapa saja yang menutup dari kebenaran ia bisa dikatakan kafir. Sedangkan orang di luar Islam sebagai mahluk sosial disebut non Muslim. Alasannya sederhana yaitu kita tidak memesan lahir dari rahim siapa. Termasuk mereka sudah ditakdirkan oleh Allah lahir dari rahim ibunya yang non Muslim.

Sekitar sore sebelum magrib tiba perbincangan kami usai. Sang ibu sudah tiba di tempat tujuannya sejak ashar tiba. Lalu kami pun berpisah untuk menikmati perjalanan yang belum usai. Terimakasih si ibu perjalanan kali ini begitu menarik.

the woks institute l rumah peradaban 21/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...