Langsung ke konten utama

Review Buku Jejak Perjalanan Kopdar SPK Ke-10




Woko Utoro

"Perjalanan seribu mil tentu dimulai dari satu langkah"-Confusius

Pepatah tersebut berasal dari negeri Cina yang menandai akan sebuah proses. Jika dalam Islam untuk menyebut karya utama Tuhan tentu dimulai dari titik. Sebagus apapun gambar atau seabstrak mungkin toh gambar berawal dari titik, lalu bersambung menjadi garis, membentuk bangun hingga jadilah ruang karya. Begitu pula buku di tangan pembaca ini yang dihasilkan dari sebuah perjalanan. Sepanjang perjalanan tentu diawali dengan langkah pertama: biasanya disebut niat.

Buku Jejak Perjalanan Kopdar SPK Ke-10 ini ditulis oleh Siti Rodi'ah. Beliau yang memiliki latar belakang pendidik telah menyadari akan arti penting catatan. Maka dari itu inilah waktunya menuliskan buah perjalanan. Seberapa sederhananya yang jelas perjalanan akan selalu memiliki arti. Salah satu cara mengabadikan perjalanan adalah dengan menuliskannya. Dan energi perjalanan harus disebarkan lewat media sosial. Agar orang tahu bahwa dari perjalanan kita bisa belajar arti kehidupan.

Buku ini sesuai judulnya yaitu berisi catatan perjalanan Kopdar SPK Ke-10 di Unesa Surabaya. Acara tersebut dihadiri oleh penulis novel best seller Hati Suhita yaitu Ning Khilma Anis dan penulis kondang Dr Moch Khoiri (Mr Emcho) serta ditemani Prof Muhammad Chirzin dari Jogjakarta. Buku yang terdiri dari 17 tulisan ini beberapa sudah diposkan melalui blog pribadi. Walaupun demikian tidak menyurutkan langkah penulisnya untuk membukukannya. Maka buku ini adalah karya solo pertama Siti Rodi'ah.

Kita bisa membaca penulisnya berkisah betapa risaunya orang menunggu terutama di waktu masih petang. Terlebih ketika ada orang yang memandang dan membuat kita tidak nyaman. hlm 4. Kisah lain juga tak kalah serunya yaitu di saat bertemu kawan baru tapi sambutannya begitu akrab dan seru. Terpenting adalah bahwa perjalanan Kopdar akan selalu diingat dan menjadi motivasi untuk berkarya, menimba ilmu baru. hlm 14.

Yang paling mendominasi dari ragam catatan dalam buku ini adalah tulisan yang mengulas tips dan trik dari Ning Khilma Anis. Penulisnya sepertinya sengaja sekaligus mengidolakan penulis Hati Suhita itu. Di antaranya Siti Rodi'ah menuliskan bahwa bagi penulis pemula khususnya menulis itu butuh tekad semangat dan tak usah butuh apresiasi dari orang. hlm 19. Jika sudah rutin menulis tidak usah minder, kadangkala kita hanya tidak tepat memberi tulisan sehingga orang mudah melemahkan. Maka dari itu untuk terus meningkatkan kualitas diri orang harus memperbanyak iqra. Kata Ning Khilma Anis, orang yang iqranya banyak pasti bekalnya banyak dalam hal ini tentu amunisi tulisan.

Barangkali demikianlah catatan singkat berkaitan isi buku ini. Saya sangat menikmati bagaimana kisah perjalanan Kopdar SPK ke-10 tersebut. Cuma amat disayangkan saya agak tidak nyaman dengan kata ganti Saya dan Aku yang mendominasi. Selebihnya tulisan ini bisa jadi teman santai, mungkin saat minum kopi di pinggir Pantai Prigi.[]

Judul : Jejak Perjalanan Kopdar SPK Ke-10
Penulis : Siti Rodi'ah
Halaman : 78 hlm
Tahun : Oktober 2023
Penerbit : Kamila Press
QRCBN : 62-540-8119-618

the woks institute l rumah peradaban 12/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...