Langsung ke konten utama

Membaca Alat Menjangkau Semesta




Woko Utoro

Dalam Islam untung saja wahyu pertama berbunyi, "Bacalah" bukan peranglah atau kayalah. Jika sampai wahyu pertama berisi peranglah atau perintah lain terkait dengan materi maka bersiaplah dunia chaos. Personal baca saja manusia masih abai apalagi soal lainnya yang terasa esensial. Orang masih menganggap bahwa membaca adalah tugas akademisi. Anggapan bahwa membaca hanya untuk kaum terdidik adalah salah. Membaca justru perintah untuk semua.

Perintah membaca tentu bukan sekadar mendaras buku hingga khatam. Atau membuka tumpukan koran dan majalah. Akan tetapi lebih jauh yaitu membaca realitas ketuhanan yang ada di alam. Hanya lewat membaca manusia akan tahu proses panjang gejala alam termasuk budaya yang dilahirkannya. Sehingga membaca itu spektrumnya menyentuh ke segala sisi kehidupan. Dengan membaca orang yang lupa jadi ingat, yang tidak tahu menjadi tahu atau hidup semakin hidup.

Di tengah gejala digitalisasi yang mencemaskan. Membaca seharusnya menjadi garda terdepan menuntun kita agar bijaksana. Karena selama ini kita tahu tradisi baca bangsa Indonesia sangat lemah. Maka dari itu banyak pihak yang masih berjuang menebar kesadaran akan arti penting membaca. Seharusnya kita cukup puas diadu domba oleh kepandiran sebab kurangnya membaca. Lebih lagi di tahun politik kita justru dipaksa terpolarisasi akibat kurang baca dan salah bacaan.

Padahal membaca bermanfaat bagi kelangsungan peradaban pikiran. Termasuk bermanfaat menghaluskan bahasa keseharian. Makin banyak membaca kita akan tahu caranya menggunakan bahasa manusia. Karena selama ini di dunia maya maupun nyata banyak orang terjebak justru fasih menggunakan bahasa hewan: misuh. Itulah tugas membaca salah satunya memperbaiki diri dan sosial keagamaan.

Mari kita lanjutkan bahwa tipologi membaca itu setidaknya dibagi dua. Pertama arus bahwa membaca berkesadaran. Membaca berkesadaran berarti bahwa setiap orang sadar akan arti penting membaca. Lantas mereka menumpuk bacaan sebagai gudang pengetahuan. Pengetahuan menjadi amunisi utama ketika direfleksikan berupa kata, bahasa dan tulisan. Dari itulah akhirnya bacaan berkesadaran adalah cara agar pikiran seseorang terbuka. Dan tulisan adalah cara membagi produk pikiran.

Di level membaca berkesadaran itu artinya masih terjadi di tingkat individu. Setelah mereka saling bersatu maka lahirlah kelompok pembaca. Di situ saja masih belum cukup maka memasuki level kedua yaitu membaca secara kontekstual. Bacaan ini sudah melebihi dari sekadar menghabiskan halaman buku melainkan bacaan yang aplikatif. Bacaan yang sudah menjadi sebuah program dan solusi. Bacaan inilah yang justru sangat dibutuhkan di tengah masyarakat majemuk.

Terakhir kita hanya berandai-andai misalnya menurut data Perpustakaan Nasional ada sekitar 28 juta eksemplar buku di Indonesia. Jumlah tersebut tentu sangat sedikit dibandingkan angka total penduduk Indonesia yaitu 200 juta jiwa. Jika saja satu penduduk Indonesia suka membaca buku minimal satu saja. Niscaya akan beres persoalan bangsa ini. Tapi tentu hal itu tak akan terjadi dan tak semudah angan-angan. Terlebih di era digital saat ini ada kecemasan sekaligus harapan, ada tantangan sekaligus peluang. Tinggal kita memilih di posisi yang mana?

the woks institute l rumah peradaban 15/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...