Langsung ke konten utama

Liburan dengan Berdaya dan Berkarya




Woko Utoro

Malam itu saya berkesempatan hadir di acara penutupan Ta'lim Pesantren Subulussalam. Acara yang sebenarnya sempat saya hindari karena pasti bakal ramai. Ternyata benar saja mayoritas santri putri sudah memenuhi aula bahkan sampai luber ke jalan depan pondok. Tapi bagaimanapun itu yang jelas malam tersebut begitu asyik.

Ketika datang iringan musik hadrah bertalu merdu. Mbak-mbak santri melantunkan syair begitu indah. Hingga akhirnya acara seremonial dimulai dengan pembukaan, qiraatul Qur'an, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mars Subulussalam, sambutan dan penampilan santri. Terakhir ditutup dengan mahalul qiyam oleh santri putra. Dari rangkaian itu saya fokus dengan pesan Abah Zainal Abidin selaku pengasuh Pesantren Subulussalam perihal mengisi liburan.

Beliau berpesan bahwa ta'lim secara formal memang ditutup tapi sejatinya mengaji itu tiada berakhir. Ngaji di manapun harus tetap berjalan dan tidak boleh putus. Di saat liburan tiba jangan lupa untuk terus mengasah skill. Apa yang didapat dari kampus maupun pesantren harus dikembangkan. Misalnya kemampuan bahasa Inggris harus diasah dengan berkunjung ke Kampung Inggris Pare. Atau bagi mereka yang huffadz bisa juga mengikuti dauroh dalam rangka mengawal isi kandungan Al Qur'an.

Kata beliau orang itu di manapun juga harus bermanfaat. Karena dengan manfaat kepada sesama maka Allah akan menata maisyah kita. Hidup akan dilancarkan dan terhindar dari mara bahaya. Semua hal yang didapat di pesantren khususnya harus sering ditradisikan utama ketika di rumah. Mumpung masih muda teruslah menimba ilmu. Karena orang yang membekali diri dengan ilmu maka akan bernilai. Sebelum kita repot oleh kepentingan keluarga maka maksimalkan dalam mencari ilmu. Nanti jika sudah berumah tangga hasrat menimba ilmu akan berkurang.

Tidak salah jika pendidikan memang berfungsi sebagai penghambat pernikahan. Maka sebelum semua siap dalam segala hal persiapan sejak dini. Agar generasi kita kelak mampu meneruskan perjuangan menghidupkan agama Allah. Terakhir jika di rumah bantulah orang tua. Jangan membebani mereka dan kerjakan sesuatu hal yang positif.

Di rumah bisa kita mengembangkan apa yang menjadi passion. Jika memiliki kesukaan pada berdagang maka tingkatkan selama liburan tersebut. Jika suka tarik suara atau menulis maka lanjutkan untuk terus berkarya misalnya buat lagu atau tulisan. Intinya hidup itu jangan diam. Kita harus berdaya dan berkarya sesuai dengan minat dan niatnya.

the woks institute l rumah peradaban 18/11/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...