Langsung ke konten utama

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi





Woko Utoro

Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi. 

Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya. 




Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan. 

Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan tersebut dilakukan oleh pasutri Mas Narno dan Mba Ulya terhadap anaknya yaitu Madjid Panjalu. Mereka menuliskan setiap momen kebersamaan bersama anak mbarep itu. Hingga akhirnya di usia 3-5 tahun putra mereka menemukan salah satu potensi luar biasa yaitu kesukaan pada dunia wayang. 




Buku tersebut juga berisi kisah keteladanan dan kehadiran di mana orang tua adalah kunci utama perkembangan anak. Anak dengan segala potensinya hanya dapat diketahui oleh orang tua yang hadir dan guru yang peduli. Anak-anak adalah aset masa depan. Anak-anak adalah karya terbesar orang tua. Maka dari anak-anak kita akan terus belajar tentang segala sesuatu yang tak berkesudahan. 

Buku Anak Merdeka berisi petuah hidup ala Ki Hadjar Dewantara dan Ki Ageng Suryamentaram. Ki Hadjar bicara tentang pendidikan anak. Tentang bagaimana anak dimong, diasuh dengan tanpa memaksa. Ki Hadjar mengistilahkan dengan sistem among. Sedangkan Ki Ageng Suryamentaram memberikan konsep kebahagiaan hidup dengan kawruh jiwa, kawruh begja dengan mengedepankan psikologi raos atau rasa. 

Buku Anak Merdeka adalah tawaran salah satu model pengasuhan. Jadi apa yang dilakukan Mas Narno dan Mba Ulya merupakan cara petani merawat tanduran. Bagus dan tidaknya tanaman tergantung dari bagaimana petani merawatnya. Mereka menerapkan coorperative parenting atau mengasuh bersama dan kerjasama. Dengan begitu setidaknya mereka mengawal perkembangan anak sesuai usianya. Terlebih menghambat mereka untuk kenal dunia luar sejak dini. Khususnya dunia di mana anak-anak sebenarnya belum saatnya mengetahui. Misalnya kekerasan di jalan, internet yang keruh, ruwetnya suhu politik, kerasnya rivalitas dll. 

Intinya diskusi tentang Buku Anak Merdeka yaitu ingin mengajak bahwa bermain adalah pembelajaran. Jadi jangan sepelekan bahwa bermain adalah pembelajaran alami buat anak. Biarkan jiwa mereka bahagia sebelum masa kanak-kanak itu habis. Ajak anak mengenal lingkungan sekitar dengan pendampingan sesuai kemampuan berpikirnya. Persiapkan mereka sejak era prenatal education. Ajak mereka berkomunikasi dalam beragam hal. Tapi model dialog justru lebih dari sekadar komunikasi. Dengan begitu anak terbiasa menggunakan logikanya dalam menghadapi permasalahan. 

Malam itu diskusi semakin seru dengan berbagai tanggapan dan pertanyaan. Akan tetapi karena waktu menunjukkan pukul 22:15 WIB maka diskusi pun harus berakhir. Mba Fafa selaku moderator memberikan closing statement bahwa pendidikan itu bukan menyeragamkan. Pendidikan itu mengawal anak-anak sejahtera lahir batin. Pendidikan itu menunjukkan potensi anak. Jika pendidikan adalah keseragaman itu bukan pendidikan melainkan pendudukan. []

The Woks Institute rumah peradaban 14/7/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...