Langsung ke konten utama

Dari Esais ke Cerpenis

Woko Utoro 

Dua bulan terakhir saya gandrung dengan bacaan sastra. Baik itu novel maupun cerpen saya lahap habis. Entah saya kerasukan apa yang jelas bacaan itu berpengaruh terhadap dunia kepenulisan yang saya geluti. Hingga akhirnya saya berpikir ingin mengubah haluan dari genre esai ke sastra terutama cerpen.

Saya terlalu percaya diri padahal siapa juga yang menyebut saya ini esais. Padahal untuk menyebut diri itu syaratnya harus ada kesaksian dari orang lain. Misalnya Ebiet G Ade tidak hanya musisi kata Eyang Sapardi tapi juga penyair. Atau dunia tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah satu dari sekian novelis terbaik milik Indonesia. 

Walaupun tidak ada yang mengatakan saya esais tapi saya jalan saja, toh apalah arti pengakuan jika mudah puas. Bukankah titik temu seorang penulis adalah tetap menulis. Karya adalah jawaban atas segala ragam pengakuan. Sebab dewasa ini banyak orang justru stug setelah banyak pujian. Karena pujian itu sebenarnya racun maka kita harus menghindarinya.

Saya tidak bosan dengan dunia esai. Hanya saja cerpen sepertinya menarik untuk diselami. Jika puisi nampaknya saya sedikit tumpul. Sebab tidak memiliki banyak pilihan kata untuk menggambarkan dunia. Tapi jika cerpen mungkin saya bisa menuliskan walaupun belum baik. Apalagi karya Aveus Har, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Ahmad Tohari dan Budi Darma punya banyak pengaruh mengapa saya ingin menulis seperti mereka.

Dunia sastra seperti kata Seno Gumira Ajidarma memang menarik. Sebab dengan sastra kita bisa menarasikan dunia secara lebih utuh. Sastra secara umum bisa menjelma tulisan estetik, etik hingga kritik. Bahkan sastra bisa menghukum rezim yang tengah berkuasa.

Lebih lagi cerpen saya melihat menarik sebab mampu mendekatkan pembaca dengan realita kehidupan. Cerpen adalah potongan dinamika di masyarakat yang bisa jadi pelajaran hidup. Melalui cerpen itu saya bisa membaca bukan saja imajinasi tapi justru fakta, bukan fiksi tapi sehimpun realita. Dari sanalah akhirnya saya berpikir ingin menjadi cerpenis. Yaitu seseorang yang bercerita minimal untuk dirinya sendiri.

Saya tentu sadar bahwa menulis itu tidak mudah. Tapi siapa juga yang hanya berpangku tangan ingin jadi penulis tapi tidak pernah menulis. Intinya jadi apapun itu lakukan, praktekan dan jangan berharap hasil. Soal menulis resepnya hanya tentang banyak latihan. Karena menulis genre apapun kuncinya adalah berlatih. Menulis itu bukan bakat turunan, tapi usaha kerja keras. Kata AS Laksana, menulis itu proses yang terus tumbuh. Jangan berharap tanaman dipaksa berbuah sendiri tapi justru karena dirawat dengan benarlah tanaman akan berbuah baik. Menulis pun demikian, bergantung apa yang kita rawat hari ini.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/9/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...