Langsung ke konten utama

Mendidik Anak Berjiwa Pemberani





Woks

Kamis, 25/3/21 bertepatan dengan 11 Sya'ban 1442 TPQ Raudhatul Athfal Mojosari mengadakan peringatan Isra Mi'raj. Walaupun peringatan tersebut tidak bertepatan di bulan Rajab setidaknya esensinya masih sangat relevan dalam kehidupan. Acara ini tentu diisi dengan berbagai kegiatan seperti membaca Qur'an, bershalawat hingga membacakan puisi dan pantun.

Sejak awal sengaja petugas semua dari anak-anak mulai dari mempersiapkan tempat, mendekorasi, MC, qori, hingga yang membacakan puisi dan pantun. Tentu kita tahu tidak mudah membuat anak mau tampil di depan umum jika belum dibiasakan sejak dini oleh orang tuanya. Karena anak masih memiliki rasa yang alami seperti belum percaya diri, gampang minder, malu-malu, takut, demam panggung, dan seringnya mendorong temannya yang lain sedangkan dirinya tidak mau. Itulah sifat alami anak sehingga peran guru dan orang sangat penting untuk menciptakan suasana agar anak tampil percaya diri dengan dirinya sendiri.



Membangun keberanian anak untuk tampil mungkin salah satu cara agar mental berani mereka terbentuk. Bagaimanapun hasilnya ketika memberi amanah kepada anak untuk tampil di depan harus kita hargai. Memberikan tanggungjawab kepada mereka tentu disertai dengan latihan. Karena anak bukan mahasiswa yang secara pemikiran sudah terbentuk kesadaran dan kepekaanya. Dengan anak terbiasa tampil percaya diri di depan umum maka sikap yang lainya akan mengikuti seperti sikap kritis, heroik, percaya diri, hingga kejujuran. Jadi pembiasaan agar anak yakin dengan potensinya sangatlah penting sebelum mereka dikuasai oleh media sebagai anak yang berjiwa imitatif total.

Bimbingan orang tua dan guru tentu sangat penting. Maka membentuk sikap berani bagi mereka sangat penting sekali apalagi esok kehidupan dunia semakin keras. Perlu adanya keberanian tidak secara fisik akan tetapi lebih kepada mentalitas antara jiwa dan raga. Anak jangan sampai merasa takut atau paranoid terhadap dunia yang menipu ini. Maka kita perlu menelaah pesan Sigmund Freud bahwa kepercayaan diri adalah sesuatu tingkatan rasa sugesti tertentu yang berkembang dalam diri seseorang sehingga merasa yakin dalam berbuat sesuatu. Keyakinan lagi-lagi menjadi faktor penentu agar sang anak memunculkan keberaniannya sebelum krisis percaya diri menyerang. Peran guru dan orang tua tentu tidak sebagai faktor motivasi tapi faktor keteladanan.

the woks institute l rumah peradaban 1/4/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...