Langsung ke konten utama

NKRI: Netizen Kesatuan Republik Indonesia




Woks

Mempersatukan sesuatu yang berbeda itu adalah pekerjaan yang tidak mudah. Perlu perjuangan berdarah-darah dalam meyakinkan bahwa persatuan adalah hal yang utama dalam sebuah negara berdaulat. Akan tetapi persatuan pun tidak bisa dipaksakan seperti halnya kegagalan Mahapatih Gajahmada dalam misi menyatukan Nusantara. Persatuan hanya bisa terjadi ketika perasaan sama rasa terwujud lewat satu batang tubuh, misalnya ketika sakit. Sakit dalam konteks dulu adalah keterjajahan bangsa kita oleh bangsa asing, orang Jawa mengistilahkan dengan "ono kebo bule".

Persatuan memang selalu terwujud lewat bingkai perjuangan. Di mana kondisi tersebut mengharuskan seseorang untuk menentukan pilihan bahwa bersatu adalah hal yang terbaik daripada sendiri. Berkah persatuan tentu sangat kita rasakan dalam masa penjajahan hingga akhirnya merdeka. Andai kita tidak bersatu saat itu mungkin Indonesia tidak akan mencapai kemerdekaannya. Memang begitulah kiranya bahwa tidak ada obat paling manjur kecuali persatuan. Bersatu teguh, bercerai runtuh begitulah pepatahnya.

Perlu dicatat bahwa bersatu tidak selamanya baik jika keburukan yang mendominasi. Artinya seperti yang pernah didawuhkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwa kejahatan yang terorganisir lebih mengerikan daripada kebaikan yang hanya sendiri. Maka dari itu kebaikan pun harus terorganisir sehingga keburukan bisa diatasi. Jika kebaikan menjadi mayoritas maka orang akan sungkan ketika berbuat buruk dan dari itulah kebaikan akan membumi.

Membincang persatuan di dunia nyata bangsa kita telah membuktikan walau dominasi perbedaan antara suku, agama, budaya tapi bisa menggapai Indonesia merdeka. Hal itu tak lain karena persatuan dalam bingkai perbedaan telah disepakati oleh karena kesadaran persoalan, kelompok untuk menggapai tujuan bersama. Tidak kalah ampuhnya persatuan juga nampak di dunia maya.

Kita lihat di dunia maya masyarakat cyber Indonesia atau Netizen tanpa mengenal istilah cebong, kampret, kadrun atau lainya mereka nampak bersatu ketika ada kasus yang kontras dengan faktanya. Misalnya ketika Kontingen Bulu Tangkis Indonesia (PBSI) harus dipaksa mundur dari gelaran kejuaraan bulutangkis tertua di dunia yaitu All England karena terindikasi terpapar Covid-19 dalam pesawat yang ditumpangi mereka. Karena alasan yang terkesan diskriminatif maka tak aneh jika akun media BWF sebagai induk persatuan pebulutangkis dunia diberondong habis oleh netizen kita. Kasus Dewa Kipas juga tak kalah menariknya ketika Levy Rozman alias Gothamchess juga kena serangan dari netizen kita dan tentu sebelumnya banyak kasus seperti Dayana, Nissa Sabyan dan lainya.

Selama ini netizen kita memang terkesan ganas. Para pengasong lambe turah alias cangkem elek itu memang tidak toleran terhadap siapapun utamanya pada mereka kaum perempuan. Kita juga harus paham bahwa media sosial memang gelanggang bebas untuk tarung atau psy war/cyber war bahkan seorang mufassir besar sekelas Prof Quraish Shihab pun juga pernah kena serangan para hatter dan bazzer. Paling musim mereka beraksi ketika pemilu berlangsung entah apa modus netizen gelap itu mencemari iklim demokrasi kita tapi faktanya telah terjadi.

Ironisnya persatuan netizen kita masih belum dewasa alias tong kosong nyaring bunyinya. Netizen kita belum mengindahkan etika dalam bermedia sosial. Bersatunya mereka mungkin dinilai positif akan tetapi bersatu cuma karena berkeyakinan chauvinisme maka hanya jadi bingkai usang dan mencemari diri sendiri. Dosen FIB UGM Ahmad Munjid mengistilahkanya dengan nasionalisme bonek atau para netizen yang bersatu cuma karena hasrat membela tanpa pernah memandang jernih permasalahan. Persatuan ini lebih kepada fanatik buta atau bersatu cuma karena anggapan kita merasa paling benar. Di sinilah ujian kemanusiaan dan kesadaran ditantang, masihkah kita tidak mau jujur dengan keadaan bangsa sendiri?

the woks institute l rumah peradaban 31/3/21






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...