Langsung ke konten utama

Memprovokasi Mahasiswa Untuk Menulis




Woks

Sabtu, 27 Maret 2021 saya merasa terhormat karena di undang untuk mengisi kegiatan pelatihan menulis dan riset yang diselenggarakan HMJ Tasawuf Psikoterapi IAIN Tulungagung. Alhamdulillah acara berjalan semarak walaupun masih dalam masa pandemi. Sekitar 20 mahasiswa yang ternyata berasal dari lintas jurusan merapat dalam acara pelatihan tersebut. Tentu saya sangat senang bisa menimba sekaligus sharing ilmu tentang kepenulisan ini. Saya merasa ilmu kepenulisan ini adalah titipan Tuhan yang harus disebarkan dan tidak boleh dipek dewe.

Awal pelatihan saya buka dengan ice breaking sejenak yaitu dengan bertepuk-tepuk ala anak Pramuka dan sedikit ditambah dengan menyanyi. Walau suara kami terasa sumbang pada akhirnya cara tersebut berhasil mencairkan suasana ruangan yang lumayan panas. Akhirnya acara saya mulai dengan beberapa pertanyaan mendasar mau apa ke sini? apakah menulis itu penting? lalu bagaimana caranya menulis? kapan dan di mana waktu yang pas untuk menulis dst. Para peserta tentu antusias menjawab dengan berbeda-beda, bahkan mereka cenderung tidak minat menulis. Dalam keadaan itu saya memberi doa semoga yang tidak suka menulis segera bertobat dan mendapat hidayah, lalu mereka pun mengamininya.



Saya tidak menjelaskan secara gamblang terkait teknis jalannya pelatihan di sini, yang jelas dalam pelatihan tersebut minimal peserta terbuka pikiranya, tergugah hatinya dan bertekad kuat niatnya untuk memulai menulis. Karena saya menjelaskan bahwa prinsip menulis itu mudah semudah kita bernyanyi. Jika pun menulis itu sulit semua karena kita lah yang mempersulitnya. Sekarang tinggal bagaimana kita, apakah mau menapaki jalan sunyi ini?

Saya memprovokasi peserta agar tergerak hatinya untuk menulis. Karena bagaimanapun juga hampir semua kegiatan penunjang di kampus adalah terkait dengan tulisan. Jika mahasiswa tidak memiliki aktivitas membaca yang baik lalu bagaimana dengan menulis? sebab dengan kegiatan menulis yang kontinyu justru akan mempermudah dalam menyelesaikan tugas kuliah dan pastinya tidak asal-asalan. Lantas apa syarat mutlak agar orang mau menulis tidak ada lagi kecuali membaca. Karena penulis yang baik tentu berawal dari pembaca yang baik.

Selama ini mahasiswa tidak bergelut dengan kepenulisan secara tekun karena masih beranggapan bahwa menulis itu tidak penting, buang waktu, tidak menghasilkan, sulit, malas dan semua itu merupakan hambatan penulis pemula. Padahal jika mau berkomitmen kuat pasti semua orang bisa menulis. Karena menulis itu bukan genetika atau hasil dari turunan melain dari proses penempaan dan komitmen kuat. Selama ini banyak juga para tokoh besar yang ternyata anak-anaknya tidak mengikuti rekam jejak orang tuanya.

Pada akhirnya saya tidak mau berdebat di ranah teknis atau problem individu yang jelas saya hanya berusaha membuka peta labirin pemikiran mahasiswa untuk membuka mindset bahwa menulis itu banyak manfaatnya. Saya pun tak kuasa untuk memberikan tips dan trik kepada peserta untuk menulis dengan metode free writing ala Peter Elbow dan Natalie Goldberg atau menulis secara bebas merdeka. Setelah itu menulis dengan tematik. Tematik dimaksudkan agar peserta terasang untuk mengembangkan tema-tema yang telah tersajikan sebab selama ini inspirasi dan imajinasi masih menjadi problem. Terakhir peserta diajak untuk melatih menulis lewat metode deep practice (DP) ala Daniel Coyle. Metode DP ini sesungguhnya melatih peserta untuk mengulangi menulis dengan lebih mendalam misalnya melalui pengulangan agar hasil tulisanya semakin bernas. Sekarang kapan anda mau menulis?

the woks institute l rumah peradaban 28/3/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...