Langsung ke konten utama

Kemana Wajah Kita Sesungguhnya



Woks

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri kemana wajah ini berlabuh? rasanya kita sudah mampu menebaknya bahwa wajah ini penuh dengan seribu topeng. Apakah kita yakin wajah yang tiap hari menghadap kiblat apa benar wajah yang selamat. Barangkali jawabanya belum tentu, karena hanya wajah yang satu dan penuh kejujuran lah yang akan selamat. Sedangkan wajah yang penuh dengan topeng tipu daya tak akan pernah memandangNya.

Dengan wajah ini kita memang sering berkamuflase, kadang kita tersenyum padahal hati menangis, kadang kita tertawa padahal hati congkak dan lebih parah lagi kadang kita gembira padahal sedang terlempar dari Tuhanya. Lantas kemanakah sesungguhnya wajah kita menghadap?

Kita tahu bahwa Allah swt hanya menerima satu wajah sedangkan 1000 wajah yang lain akan masuk ke dalam neraka. KH Lukman Hakim pengasuh Cahaya Sufi mengemukakan bahwa wajah adalah simbol arah ke mana kita menghadap, wajah pula lah bentuk eksistensi seorang manusia dalam kehidupannya. Jika wajah itu memiliki ekspresi yang tidak jujur berarti kita memang tengah memperlihatkan kemunafikan. Lantas sejak dulu baik lewat wajah maupun anggota tubuh lainya dusta itu merupakan dosa yang besar. Mengapa demikian, karena setiap huruf yang merangkai kata menjadi kalimat semua membawa nafas namaNya. Sehingga jika kita berdusta dapat dipastikan selalu di bawah bayangan penglihatan Nya.

Wajah yang ayu atau tampan diperlihatkan bukan melalui fisik melainkan lewat aura sikap yang mengiringinya. Jika pun wajah ayu cantik rupawan akan tetapi berbuat nista tak akan ada artinya. Banyak pula orang tampan rupawan tapi hatinya picik. Maka benar bahwa secara hakikat Allah hanya membedakan hambanya pada sebuah ketakwaan. Lantas adakah wajah yang teduh alias wajah yang ketika kita memandang serasa menentramkan.

Rasanya wajah itu terakhir hanya tersemat pada Kanjeng Nabi Muhammad saw, wajah yang selalu tampak tersenyum dan siapa saja yang memandangnya akan langsung jatuh hati bahkan mereka musuh-musuh beliau. Saat ini umatnya hanya bisa merefleksikan kepribadian beliau lewat laku, karena jika meniru ketampanan secara fisik laiknya Nabi Yusuf tentu kita tak mampu. Meniru cantiknya Siti Julaikha, Ratu Balqis atau permaisuri Fir'aun Siti Asiyah tentu tak mampu, yang bisa dilakukan adalah meniru akhlak perilakunya.

Akhlak adalah kekayaan hati. Maka bagaimana pun wajah hatilah ukuran kecakapanya. Wajah bisa saja menipu karena hari ini kita tengah terjajah oleh ribuan merk kosmetik tapi hati tak bisa berkelindan terhadap sesuatu. Sungguh wajah yang selalu dirindukan adalah wajah mereka para arif yang tidak sedikit pun berpaling dari petunjukNya. Wajah yang nanti akan bercahaya dan sekaligus dicari oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw ialah yang penuh kesyukuran, kasih sayang serta berwudhu. Mari perhatikan wajah kita dengan seksama ke manakah wajah ini kita hadapkan, kemanakah jiwa kita berlabuh dan kemana diri ini kembali: jawabnya hanya kepada Allah swt dzat yang maha indah.

the woks institute l rumah peradaban 12/3/21




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...