Langsung ke konten utama

Mesusi Beras




Woks

Saya tidak tau apa arti mesusi di daerah lain yang jelas satu kata ini membawa lokalitas bahasa tersendiri. Dalam disiplin psikologi lokal baik penggunaan bahasa atau tradisi yang berkembang bisa disebut indegenous phychology. Mesusi di daerah saya dikenal sebagai aktivitas membersihkan beras sebelum dimasak menjadi nasi.

Caranya sederhana yaitu beras dimasukan ke dalam wadah, kami biasa menggunakan perkakas dari anyaman bambu bernama wakul atau orang Sunda menyebutnya boboko. Mesusi dengan media wakul lebih memudahkan membersihkan kotoran atau sisa-sisa sekam pada beras. Bahkan kita juga bisa memisahkan antara kor (kutu beras), las (gabah), dedek (kulit padi), menir (pecahan beras) dan sisa-sisa yang melekat di sana. Biasanya air akan langsung memisahkan dengan ciri berwarna putih seperti susu hingga akhirnya bersih.

Saya menemukan kearifan saat melakukan aktivitas mesusi. Pertama, kesederhanaan tampak di sana dan sikap tersebut memang masih hidup di pedesaan. Kedua, rasa syukur tentang hasil panen bahwa padi yang sedang dibersihkan itu merupakan hasil kerja keras petani dan atas berkah rahmatNya. Di sisi lain perlakuan mereka terhadap beras yang nantinya akan jadi nasi merupakan wujud kedalaman batin bahwa semua karena rahmat Allah swt. Ketiga, mengajarkan rasa puas bahwa sedikit atau banyak semua adalah rezeki dari sang Kuasa. Karena bagi orang desa keberkahan bukan dilihat dari banyaknya tapi dari seberapa manfaatnya. Beberapa orang memang selalu berdoa saat di meja makan semoga apa yang mereka konsumsi bisa jadi tulang, sumsum darah lalu merubah jadi energi untuk menopang tubuh beribadah kepada Nya.

Di sudut yang lain saya memandang secara filosofis bahwa beras yang dipesusi itu seperti orang dengan ilmunya. Orang yang punya kedalaman ilmu pastinya saat dipesusi tidak akan mengambang apa lagi terbuang oleh air. Justru orang dengan kedalaman ilmu akan sama seperti pendahulunya ketika masih jadi padi yaitu tenang dan merunduk. Berbeda dengan orang bodoh yang banyak omongnya yaitu sesuai ilustrasi dalam mesusi tersebut yaitu kosong, rapuh dan tak berdaya. Mereka mudah terombang-ambing dan akhirnya terpisah dengan sendirinya bersama air hasil cucian beras tersebut.

Sekarang kita telah belajar dari mesusi bahwa hidup adalah tentang pengabdian, belajar dan berbuat kebaikan. Jika saat menikmati nasi kita masih menjumpai adanya las atau batu anggap saja itu adalah sifat asli manusia yaitu dosa, alpa, lupa dan rapuh. Kita senantiasa selalu bersenandung syukur kepadanya atas segala nikmat. Semoga lewat kearifan mesusi kita semakin sadar bahwa diri yang bodoh ini tidak layak merasa pintar. Mari belajar kepada mesusi tentang kekotoran diri dan berniat untuk terus mensucikan diri dengan taubat.

the woks institute l rumah peradaban 8/3/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...