Langsung ke konten utama

Menyelami Tetralogi Motto PPHS Srigading




Woks

Pesantren sebagai jangkar keilmuan, keadaban dan kebudayaan memiliki strategi khusus dalam menyemai ajarannya kepada setiap santri. Ajaran pesantren tentu dapat diwujudkan berdasarkan visi misi atau pepeling hidup dalam sebuah pesan moral pondok. Harapan besarnya dari sana para santri dapat memahami jalan dakwah pesantren untuk diaplikasikan ketika lulus nanti. Salah satu pesan yang perlu kita pahami seperti pada motto Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Tulungagung (PPHS) yang termaktub dalam tetralogi motto pondok.

Tetralogi motto yang terdapat dalam pesantren ini yaitu: sregep jamaah, ngaji, mulang dan resik-resik. Mari kita kupas satu persatu pertama, sregep jamaah artinya rajin berjamaah. Rajin itu sikap cerdas yang dilakukan tanpa beban dan cenderung menikmati. Orang tahu bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib sehingga orang rajin akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk dapat berjamaah tanpa merasa dipaksa. Kita juga tahu bahwa jamaah adalah warisan besar yang tak terhingga. Bangsa kita bisa merdeka salah satunya karena barokah berjamaah atau bingkai persatuan. KH Wahab Hasbullah juga sering mengingatkan bahwa tidak ada obat yang paling mujarab selain persatuan. Dari prinsip berjamaah inilah harapanya santri dapat mengaktualisasikan dirinya ketika shalat dan utamanya kontribusi di masyarakat.

Kedua, sregep ngaji artinya bahwa menimba ilmu itu penting. Orang bisa saja menjadi pintar dengan dirinya tapi persoalan lainya seperti adab, spiritual, problem ruhani harus digurui dengan cara mengaji. Tanpa adanya pengajian manusia hanya hewan belaka. Ngaji itu sangat penting baik mengkaji turats maupun ngaji diri atau laku. Orang tidak bisa ujug-ujug langsung pintar sehingga dalam talim ngaji itu butuh proses alias waktu yang konsisten. Selain itu output mengaji adalah akhlak yang baik sedangkan untuk merubah watak manusia itu juga butuh waktu yang lama. Karena kita tahu bahwa karakter manusia ibarat batu karang yang diterjang ombak, tentu butuh waktu lama dalam merubahnya. Ngaji juga berarti menyambung sanad antara guru dan santri. Karena bagaimanapun agama ini harus berdasar sanad, jika agama dan kajian khas pesantren bisa digali sendiri niscaya hasilnya akan semau kita.

Ketiga, sregep mulang artinya di PPHS ini memang memiliki anak-anak kecil yang mengaji TPQ di sore hari sehingga harapanya para santri bisa membantu menyalurkan ilmunya kepada mereka. Mulang atau belajar mengajar (micro teaching) sangat diperlukan oleh setiap santri guna menempa dirinya. Jangan sampai ilmu yang telah didapat tidak dimanfaatkan sebaik mungkin. Jika ilmu hanya berada di dalam sangkar maka kita telah berbuat aniaya dengan kitmanul ilmi atau menyembunyikan ilmu. Maka dari itu selama proses belajar kita juga harus belajar mengajar agar terbiasa dalam menyampaikan kebaikan ketika sudah terjun ke masyarakat.

Keempat, sregep resik-resik yaitu menjaga kebersihan lingkungan. Kebersihan sebagian dari iman harapanya bukan menjadi slogan melainkan menjadi identitas kehidupan sehari-hari. Hal itu dilakukan sejak berada di pondok dan khusus bisa diaplikasikan di masyarakat kelak. Selama ini stigma bahwa santri itu urakan harus segera di rubah. Maka dari itu ajaran menjaga kebersihan diri dan lingkungan sangat penting untuk dibiasakan. Perlu diingat bahwa menjaga kebersihan tidak dimonopoli oleh orang dewasa bahkan harusnya oleh kita semua. Sebab bersih itu bukan hanya untuk kita tapi untuk semua termasuk alam semesta.

Semoga 4 nilai yang dijadikan landasan kerja PPHS ini dapat menjadi pedoman bagi para santri dalam mengembangkan diri dan lingkungannya. Jika santri membelot dari ajaran yang ditetapkan pondok tersebut berarti hatinya memang tengah berkabut dan harus disadarkan. Semoga kita menjadi santri yang budiman.

Pewarta: the woks institute l rumah peradaban 18/3/21


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...