Langsung ke konten utama

Kiprah Ustadz Hadirin dan Ilmu Pengalaman


Pembinaan satu pesan seribu jalan


Woks

Menyimak motivasi dari ustadz Hadirin sungguh menggugah jiwa. Sehingga tak terasa ingin segera menarikan pena untuk menuliskanya. Beliau berbagi pengalaman kepada kami seputar kisah hidupnya. Dulu saat beliau masih muda rasa semangat dalam hal apapun masih terjaga ibarat anak kekinian dalam keadaan performa terbaik. Maka tidak aneh jika persoalan khidmah beliau tipe orang yang totalitas.

Mengapa demikian bisa terjadi, kata beliau kuncinya adalah optimisme dan rasa semangat. Optimis adalah sikap berpikir positif bahwa jalan ke depan akan terbuka lebar bagi siapa saja yang terus belajar. Selain itu semangat menjadi daya gedor dalam menggapai sesuatu hal. Beliau bercerita ketika dulu saat menjadi direktur dalam sebuah lembaga pendidikan haruslah dilandasi dengan rasa nyaman dalam hati. Dalam arti lain kita harus mampu menyesuaikan dengan keinginan. Jika keinginan itu tidak terwadahi mau apa lagi yang akan dipertahankan.

Kata beliau mumpung masih muda banyak-banyaklah menimba pengalaman hal itu akan berguna saat kita diminta masyarakat untuk berkhidmah dan akhirnya akan amanah. Salah satu khidmah yang bisa kita lakukan adalah dengan mengabdi pada Qur'an. Artinya dengan belajar al Qur'an kita sejatinya telah ikut serta dalam menjaga kalimatnya Allah. Logikanya jika kita berbuat untuk Allah maka Allah pun pasti akan membalas jerih payah kita. Salah satu kunci sukses adalah dengan bersikap disiplin. Cara itulah yang dapat menciptakan karakter pada diri kita. Sikap yang heroisme dan juga bertanggungjawab.

Beliau juga bercerita bahwa dulu pernah menduduki posisi strategis dalam sebuah pekerjaan akan tetapi lambat laun hati menjadi resah dan benar saja kerja beliau semakin tidak tenang apalagi urusan gaji dsb. Akhirnya beliau memutuskan keluar dan mendapat pekerjaan lain hingga akhirnya bergabung ke lembaga al Azhaar Tulungagung. Singkatnya bahwa kerja itu harus sesuai dengan isi hati karena dengan begitu kerja kita akan dilandasi dengan perasaan bahagia bukan malah terpaksa. Maka dari itu pentingnya bersyukur bahwa di lembaga ini kita selain berkhidmah juga belajar. Belajar itu tidak harus bisa tapi ya belajar itu yang proses menggapai tanpa lelah artinya selalu mencoba.

Dalam hal pekerjaan ini seharusnya kita berniat untuk berjuang total. Karena dengan berjuang total kita setidaknya telah berkomitmen dengan diri sendiri dan orang lain. Perlu dicatat bahwa mindset kerja itu harus khidmah karena tanpa sikap itu kita hanya akan mendapat lelah saja. Jika pengabdian niatnya pasti akan berbeda, ambil contoh masalah gaji jika niatnya bukan kerja maka kita akan merasa enjoy sebab kita bukan sebagai buruh melainkan seorang yang mengabdi. Khidmah sangat penting dalam sebuah lembaga pendidikan karena hal itu sama dengan kita menanam kebermanfaatan diri alias mewakafkan diri untuk kebaikan. Selama ini kita masih berurusan dengan masalah jasmani dan sayangnya rohani selalu menjadi nomor sekian. Padahal memberi asupan gizi ruhani juga tak kalah pentingnya daripada jasmani saja.

the woks institute l rumah peradaban 8/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...