Langsung ke konten utama

Barokah Mengajarkan Kitab Kecil





Woks

Siapa bilang orang besar itu adalah ketika mampu mengajarkan kitab besar nyatanya kitab lanjutan tersebut diajarkan sesudah kitab kecil. Ya tentu kita tahu saat di pondok atau ketika mengaji di madrasah sewaktu kecil sebelum meningkat ke kelas besar kita diajari kitab-kitab kecil sebagai pondasi dasar. Maka orang besar itu adalah ketika tidak melupakan pengajaran dulu disaat belajar kitab kecil.

Sebelum mengenal ushul fikih, mantik atau disiplin ilmu lanjutan lainya kitab kecilah yang tak boleh dilupakan. Sebelum kita mengenal tafsir, kitab tauhid atau tasawuf justru kitab kecilah yang menjadi pengantar ke disiplin ilmu tersebut. Maka dari itu perlulah kita berterima kasih kepada guru sewaktu di mushola, madrasah atau sekolah dasar tanpa mereka kita mungkin tidak tau apa-apa.

Tak terpikir apa jadinya jika dulu kita tidak diajari kitab Mabadi Fikih atau Safinatun Najah misalnya sebagai pengetahuan awal dalam masalah fikih dan penunjang ibadah sebelum akhirnya berlanjut ke Taqrib atau Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahhab hingga Fathul Baari. Mungkin kita tidak akan tahu caranya shalat, puasa, zakat hingga haji. Jika kita tahu masih banyak di luaran sana yang memang tidak tahu bagaimana cara shalat yang benar dan bagi orang awam pengetahun tentang shalat itu sangat penting sekali. Sehingga kita tidak bisa meremehkan kitab kecil tersebut. Belum lagi permasalahan pelik lainya seperti bab haji, waris, talaq, falaq, tijaroh, ruyah dan lainya yang memerlukan kitab lanjutan.

Tidak hanya masalah fikih, masalah seperti tauhid pun juga penting diajarkan sebagai pondasi utama keimanan. Kita tahu sejak kecil para kiai sudah mengajari tentang sifat 20 atau kiai Jawa dengan aqoid seketnya. Kitab seperti Aqidatul Awwam, Risalah Ahlussunah wal Jamaah, Qothrul Ghais, Sullam Taufiq tentu diajarkan terlebih dahulu sebelum ke kitab besar seperti Jauhar Maknun, Sullam Munawaraq hingga Hikam ibn Athaillah. Masalah aqoid qiraatil qur'an pun tak kalah pentingnya sebagai landasan membaca sekaligus memahami teks kitab suci. Kitab tipis seperti Syifaul Jinnan, Tuhfatul Adhfal, Aqaid Tajwid menjadi gerbang awal untuk dipelajari sebelum ke pembelajaran lanjutan mengenal nahwu, sharaf, balaghah, maani, bayan dan lainya. Intinya semua hal yang dasar dan dianggap remeh itu padahal juga tak kalah pentingnya.

Di pesantren tentu kitab akhlak menjadi yang intisari sebagai kajian utama santri dalam mencetak generasi yang beradab. Sejak awal mereka harus mempelajari kitab kecil mulai dari Alala, Wasoya, Taysirul Kholaq, Talim Mutaalim, Adabul Alim wal, Wasiyatul Musthofa, Minahus Saniyah, Hingga Ihya Ulumuddin. Kitab dengan level orang dewasa tentu akan dipelajari di tingkat lanjut karena dalam tradisi pesantren menghargai sebuah proses sangatlah penting daripada sekadar memikirkan hasil. Maka dari itu santri diajari berjuang tidak sekadar thama apalagi tulul amaal atau panjang angan-angan. Santri harus merasakan bahwa belajar itu berat, butuh kesungguhan, butuh biaya, petunjuk guru dan waktu yang lama.

the woks institute l rumah peradaban 27/3/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...