Langsung ke konten utama

Keresahan Sistemik dan Do'a yang Tak Terkabul




Woks

Masa pandemi ini memang banyak orang yang kelabakan bahkan perusahaan gagah pun nampak ada yang gulung tikar. Orang yang terbiasa melancong ke sana-kemari, atau yang terbiasa gesit hidup dengan dinamis saat ini nampak lesu. Orang yang biasa hidup menikmati malam dan siang kini nampak dikebiri atau apapun itu. Aneh memang pandemi menjadi disalaharti. Padahal di sana banyak hikmah yang terselip.

Apakah demikian? nyatanya tidak. Toh jika pun hal itu terjadi ia hanya bagian dari salah satu imbas atau dampak di mana kejadian tersebut tak lain merupakan pelajaran. Pandemi ini merupakan cara Tuhan mendidik kita bahwa hidup tidak selalu mulus pasti ada saja lika-liku. Keadaan itulah yang seharusnya kita terima sebagai ketentuan takdirNya. Barangkali Tuhan telah bosan dengan rengekan manusia yang selalu mendamba dunia daripada Dirinya. Kita seolah tengah berlaku menjadi orang yang selalu tidak puas dan ingkar padahal jika dibandingkan dengan nikmat yang ia berikan sungguh tak ada apa-apanya.

Hal yang mengerikan dari sesuatu yang kita anggap dosa kecil adalah membohongi diri sendiri alias tidak jujur. Jangan sampai nikmat Allah yang melimpah ini justru kita balas dengan mengobral keluhan. Sudah jelas bahwa setiap keluh kesah atau merasa tidak menerima takdir tak lain karena jiwa kita disetting untuk dunia. Coba jika sejak awal niat kita karena Allah mungkin kita telah mempersiapkan jika suatu saat hal ini terjadi. Sehingga sikap pasrah, nriman dan tawakal justru yang muncul, bukan malah sebaliknya. Maka dari itu nikmatilah, syukurilah, bayangkan Dia yang maha Indah sedang mencintaimu.

Jika kita jernih berpikir bahwa pandemi ini sesungguhnya bukan kondisi yang memproduksi keluhan justru momen bersyukur. Sebelum pandemi tiba barangkali kita sibuk dengan perkara dunia maka saat pandemi ini justru waktu yang pas untuk memulai lagi kedekatan kita bersama Allah. Jangan-jangan selama ini kita memang tengah menjauh dariNya. Jasmani barangkali selalu kita utamakan untuk diisi maka di masa pandemi bisa jadi pengingat agar ruhani juga diperhatikan. Manusia seharusnya segera sadar bahwa yang materiil harus dirohaniahkan dan yang bendawi harus ditransendenkan.

Kita juga diajak membuka pikiran mengapa jika berdoa tak segera dikabulkan. Saat tahu doa begitu lama dikabulkan kita merasa resah bahkan hilang harapan dan putus asa. Begitulah manusia amatiran selalu merasa bahwa waktu telah tiada, padahal Tuhan tengah mempersiapkan banyak hal buat pendoa tersebut. Kita tahu mengapa orang kafir atau ahlul fasiq mudah terwujud doa-doanya, hal itu tak lain bahwa mereka ibarat knalpot motor yang bising. Jadi Tuhan merasa tak perlu berlama-lama membiarkan knalpot itu bersuara maka terkabulah doanya dengan cepat.

Tapi berbeda dengan orang beriman, saat doa mereka tak kunjung tiba barangkali Tuhan memang sedang asyik, Dia ingin berdua sama-sama merayu. Jika orang beriman pasti tahu bahwa yang demikian adalah tanda bahwa ia sedang dicintaiNya. Apakah mungkin orang yang sedang rindu dan bercinta ingin segera pergi lantas beranjak, sepertinya tidak. Justru di sanalah yang menjadi dasar perbedaan orang beriman dengan orang yang ingkar. Jika sudah demikian apalagi yang akan kita pertentangan? apalagi yang kita resahkan. Selalulah lambungkan rasa syukur ke hadirat Allah sang maha welas asih dalam keadaan apapun.

the woks institute l rumah peradaban 16/3/21


Komentar

  1. Manatab banget mas woko, sukses selalu karya karya nya.

    BalasHapus
  2. Uihh analisa mas Woks mantab kayak ustad Quraisy Sihab dan dikompare dengan tinjauan filosofis religy.

    BalasHapus
  3. Tulisan yang keren. Proses menuju pasrah, nriman dan tawakal pada diri seseorang itu berbeda2. Belm tentu, pandemi ini merubah sikap orang dari mendewakan dunia menuju kepasrahan dan tawakal kpd Allah. Bs jadi pada suatu mslh pribadi seseorang menjdikan sikpnya berubah k arah yg lebh baik. Tetapi, adanya pandemi ini harus d jdikan analisa setiap muslim dalm mngoreksi korelasi hubngan denganNya. Dan doa adalah perisai bagi setiap orang muslim untk menjalani kehidupan di dunia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...