Woks
Entah sejak kapan saya kesambet menyukai buku. Yang jelas sejak buku menjadi minat saya merasa dunia terlihat penuh warna. Sebelum saya suka baca buku dunia hanya seperti abu-abu. Bagi saya buku adalah jalan kesunyian ketika kita mampu membacanya setelah itu menuliskan intisarinya. Dan memang benar, menulis adalah seni membagikan sumber bacaan salah satunya "buku".
Ketika di suatu tempat khususnya instansi atau lembaga umum lainnya hal utama yang saya cari adalah perpustakaan. Tentu kisah saya dan perpustakaan sudah diulas beberapa waktu lalu. Jika berminat anda bisa kunjungi rumah peradaban kecil saya di the woks institute. Sebuah web kepenulisan yang saya dedikasikan untuk mereka para pejuang ilmu pengetahuan.
Tak usah berpikir mendalam apa manfaat seseorang membaca buku. Tentu sangat banyak sekali. Anda bisa temukan di internet urgensinya membaca. Satu hal tak akan pernah anda temukan yaitu "minat". Karena berkaitan dengan membaca adalah soal niat dalam hati. Minat dan niat dua mata uang yang dibentuk atau dicari. Keduanya seperti benda hilang padahal semua ada dalam diri.
Saking pentingnya membaca sampai-sampai ada gerakan hibah buku atau donasi buku. Ketika mendengar ada donasi buku saya jadi teringat saat berkunjung ke beberapa perpustakaan salah satunya di Masjid Agung Baitul Mukminin Kabupaten Jombang. Saya tidak ingin mengulas detail keadaan perpustakaan di sana yang jelas soal koleksi buku sangat minim. Dan fenomena kekinian yang minim itu pembacanya sedangkan buku itu sebenarnya sangat banyak. Cuma tinggal bagaimana kita memposisikan buku sebagai apa?
Bicara buku pikiran saya selalu tertuju pada Bung Hatta, Gus Dur dan KH. Ahmad Yazid Tulungrejo Pare. Dari ketiganya saya merasa mendapat wahyu bahwa membaca adalah sebuah aktivitas utama pikiran. Nama yang ketiga mungkin tidak populer padahal ketika kita mengetahui siapa beliau maka tercenganglah kita. Mereka para pendahulu telah mencontohkan betapa buku atau sumber bacaan selalu di posisi yang sangat penting. Bahkan Bung Hatta merasa bebas merdeka asalkan bersama buku padahal era perjuangan beliau berada di balik jeruji besi. Bung Hatta rela membawa 6 peti bukunya selama masa pengasingan ketika di Jogjakarta, Bandaneira, Digoel hingga kembali ke Jakarta semua karena kecintaan beliau pada buku, pada ilmu.
Jika ada donasi buku saya teringat dengan donasi untuk korban bencana alam. Atau donor darah untuk kegiatan amal palang merah Indonesia (PMI). Rasanya donasi buku pun serupa yaitu keadaan di mana masyarakat tengah krisis soal bacaan. Maka perlu untuk mendapatkan suntikan donor pengetahuan dan pencerahan. Hal yang perlu diedukasi pertama tentu di dunia medsos yang kian hari membawa kecemasan. Dan kita tahu Indonesia masuk deretan teratas negara paling cerewet di medsos padahal tingkat bacaanya rendah. Alhasil masyarakat kita mudah terpolarisasi alias tidak cakap, kurang dewasa. Fenomena ini bisa kita saksikan utamanya ketika politic war berlangsung.
Sudahlah saya tidak mau berpanjang kalam. Tapi memang jika sudah menulis tentang buku, saya tidak bisa dihentikan. Yang jelas keberadaan buku sangatlah penting. Lewat buku seseorang bisa bernilai lebih. Bahkan tak segan saya berspekulasi bahwa indikator utama seseorang berpengetahuan adalah "kepemilikan buku". Bisa disurvei di desa ada berapa orang yang memiliki perpustakaan pribadi? Ohh iya ada hal yang lebih penting dari sekadar mengumpulkan buku yaitu konsistensi alias istiqamah merawatnya.
"Satu peluru hanya dapat membunuh satu orang, tapi satu buku mampu menghidupkan banyak pikiran"
Jika ingin berdonasi buku bisa hubungi admin : 081947397822
the woks institute l rumah peradaban 27/1/23
Intinya satu. Barang siapa hendak berdonasi buku silakan hubungi admin! 😅
BalasHapus