Langsung ke konten utama

Membaca Omjay dan Aliran Tulisannya




Woks

Membaca buku, "Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa Yang Terjadi" sungguh luar biasa. Kendati isinya sangat sederhana akan tetapi apa yang ditulis Wijaya Kusumah alias Omjay sangatlah relevan. Omjay yang seorang guru memang sangat paham bahwa salah satu jalan menuju kemajuan adalah dengan mentradisikan membaca setelah itu menulis. Kesadaran itu tentu Omjay aplikasikan juga di sekolah binaanya di Jakarta.

Buku yang diberi pengantar oleh Prof Arief Rahman dan Prof Conny R Semiawan tersebut sangat menarik karena mengupas seputar kecerdasan bahasa. Menurut kedua pakar tersebut menulis adalah cara untuk mengolah bahasa sedangkan bahasa berfungsi untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Menulis adalah kemahiran berbahasa yang keempat. Hal yang pertama adalah mendengar, kedua adalah berbicara, ketiga adalah membaca, dan yang keempat sekali lagi adalah menulis. (hlm ix).

Bisa saja orang akan sangat mudah menjadi pendengar apalagi berbicara akan tetapi orang membaca lalu menuliskannya sangatlah langka. Maka dari itu menulis adalah kemampuan mengolah logika. Logika tersebut biasanya disampaikan lewat retorika maupun media tulis. Akan tetapi orang yang bagus bicaranya belum tentu bagus tulisannya. Memang menulis itu butuh pembiasaan tiap hari yang ini dijalani Omjay dengan penuh komitmen. Tanpa komitmen tinggi menulis hanya akan diangan-angan saja.

Salah satu komitmen menulis bisa didapatkan melalui karya Omjay ini. Buku yang berisi 75 tulisan berisi kiat-kiat menulis, hambatan menulis, memulai menulis, motivasi, ketika pikiran buntu, topik tulisan, hingga tulisan memberdayakan sangat cocok dibaca bagi kita yang selamanya menyebut diri sebagai "pemula". Omjay seperti pendahulunya, Hernowo dan Gede Prama selalu menulis tanpa beban. Produktivitas dalam menulis ia terus alirkan dengan menulis apa saja yang terpenting setiap hari. Dalam proses kreatifnya Omjay sangat terinspirasi dengan Hernowo sang maestro mengikat makna. Makanya tidak salah jika guru SMP Labschool Jakarta ini sangat produktif dalam menulis.

Bagi Omjay terkhusus bagi guru menulislah jangan biarkan ilmu para guru tenggelam dan tak muncul ke permukaan. Lewat menulis berarti ide, gagasan dan keilmuan terus hidup. Seperti lewat salah satu tulisannya Omjay mengajak agar para guru rajin menulis karena efek menulis sangat luar biasa. Omjay juga menukil Dylan Thomas bahwa menulislah karena hanya dengan cara itu dunia mengetahui apa yang kita pikirkan.

Terakhir Omjay memberi tips yang bisa dikatakan wajib bagi siapapun. Omjay mengutip Hernowo bahwa menulis itu juga membaca. Tanpa adanya proses membaca maka tulisan akan kering. Maka membaca dan menulis adalah aktivitas yang satu kesatuan. Jangan sampai seperti yang Omjay kutip dari Taufiq Ismail tentang rabun membaca dan lumpuh menulis. Jadi bagaimana mau menulis jika tidak ada aktivitas membaca. Padahal sangat jelas bahwa menulis pondasi dasarnya adalah membaca. Dari bacaan tulisan akan dilahirkan.

Omjay juga menekankan jika ingin menulis maka tulis saja apa yang ada di depan mata. Dalam creative writing jangan terpaku dengan ilmu menulis. Ikuti saja dulu langkah jari jemari dalam menarikan penanya. Setelah itu endapkan sejenak jangan dulu diposting baru setelah ada proses editing tulisan siap disajikan. Menulis berarti cara untuk melihat diri sendiri sudah baikkah kita dalam merangkai kata tersebut. Para bijak bestari memberi pesan bahwa menulis adalah cara menjaga agar setiap kata terus hidup. Maka dari itu menulislah setiap hari dan rasakan manfaatnya.[]

Judul : Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa Yang Terjadi
Penulis : Wijaya Kusumah
Penerbit : Indeks, Jakarta 2012
Halaman : 289 hlm
ISBN : 979-062-339-9

the woks institute l rumah peradaban 9/1/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...