Langsung ke konten utama

KH. Makhtum Hadi Sosok yang Tegas dan Bersahaja





Woks

28 Desember 2022 tepat di penghujung tahun kami mendengar lelayu dari salah seorang tokoh di daerah Haurgeulis (HGL) Indramayu. Bagi Nahdliyin di HGL nama beliau tentu sangat dikenal dan memang sepak terjangnya untuk NU begitu luar biasa. Namanya sangat akrab di kalangan Nahdliyin karena menurut catatan beliau pernah menjabat sebagai rais syuriyah MWC NU Haurgeulis periode 2014-2019 bersama Kyai Muiz Ali (alm). Ya beliau adalah KH. Makhtum Hadi atau bisa disapa Kaji Makhtum.

Secara pribadi saya mungkin tidak seintens teman lain dalam berinteraksi dengan beliau. Akan tetapi kenangan singkat bersama beliau masih saya catat dalam sebuah ingatan lalu hari ini saya menuliskannya. Pertemuan saya dengan beliau adalah ketika kami bersama mahasiswa HGL yang kuliah di Tulungagung bisa sowan ke ndalem beliau di daerah menuju Sumur Bandung HGL.

Saat itu Kaji Makhtum adalah salah satu sesepuh yang wajib kami kunjungi minimal satu tahun sekali. Beliau orangnya sederhana, pandai retorika dan pastinya tegas. Ketegasan dan kesahajaan tersebut belum sepenuhnya menggambarkan sikap beliau. Mungkin sikap itu hanya mewakili sikap lain yang lebih mayoritas. Secara pribadi ayah dari Mba Maryatul Qibtiyah (Yatul) tersebut adalah pribadi bersahaja dan humoris sehingga membuat siapa saja di dekat beliau merasa nyaman.

Saya sebenarnya sudah mendengar sejak Aliyah bahwa Kaji Makhtum adalah ayah dari Kang Hizbull (Bang Bull). Akan tetapi perkenalan itu puncaknya adalah ketika putri beliau, Mba Yatul sama-sama menimba ilmu di Tulungagung. Kalau tidak salah beliau juga sempat mengantarkan putrinya ketika mendapat beasiswa kuliah sekaligus bernostalgia di Nganjuk.

Kaji Makhtum juga merupakan orang yang berpengetahuan luas dan pastinya pecinta ilmu. Beliau juga tercatat menimba ilmu kepada KH. Usfuri Anshor (Pengasuh PP Al Ishlah Jatireja Compreng Subang) bahkan putra-putrinya dipondokan di sana. Hal itu juga sangat nampak ketika beliau mendorong putra-putrinya untuk terus menimba ilmu dalam berbagai bidang, baik formal maupun non formal. Orang yang low profile itu memang sangat terbuka pada perkembangan zaman. Maka dari itu dorongan beliau pada IPNU IPPNU misalnya sangat besar. Beliau mengatakan bahwa organisasi pelajar NU harus mampu mengendalikan waktu jangan malah sebaliknya.

Saya juga ingat di momen sowan entah yang keberapa. Yang jelas beliau tidak segan berkisah tentang salah satu gurunya yaitu KH. Hafidz Baehaqi (alm). Beliau berkisah sekaligus menjelaskan bahwa keberkahan dan keridhoan guru tidak bisa dibeli dengan apapun. Maka dari itu sosok guru tidak hanya membimbing tapi menunjukkan jalan lurus yang Allah ridhoi. "Sing penting mah kuen ya, nang nok", kata itulah yang masih terpatri hingga saat ini.

Beliau juga berpesan bagi para pencari ilmu untuk memperhatikan dirinya (badaniyah dan ruhaniyah). Beliau mencontohkan dengan filosofi rumah. Jika rumah dirawat dengan baik maka baiklah rumah itu. Di dalam seisi rumah bisa kita apakan terserah penghuninya maka dari itu perbaikilah terus rumah mu itu. Selain itu beliau juga mengatakan agar orang seperti padi. Tentu pepatah tersebut sangat familiar tapi sulit dilakukan. Orang yang sudah berilmu seharusnya semakin merunduk tapi zaman sekarang malah sebaliknya, orang malah bangga dengan kedudukan.

Mungkin ini ingatan terakhir saya ketika bertemu beliau bersama ibu dan adik Mba Yatul ketika di momen wisuda sekitar bulan Maret 2022. Saya mendengar sebelumnya bapak dalam keadaan sakit akan tetapi di luar dugaan beliau datang bersama rombongan walaupun sudah dipapah. Tapi itulah Kaji Makhtum yang saya kenal pikirannya melebihi badannya. Mungkin saja badan sakit akan tetapi pikiran beliau melampaui keadaan apapun. Dan itulah yang membuat beliau bertahan.

Di malam itu beliau disambut oleh Pak Dede dan seisi rumah termasuk saya dan beberapa kawan. Dengan sumringah beliau seperti biasa banyak melontarkan humor yang tentunya membuat kami tertawa. Akan tetapi dalam tawa tersebut seperti terselip rasa sakit yang beliau tahan. Akan tetapi semua nampak normal seperti biasa. Saya tidak bisa menyembunyikan betapa bahagianya Mba Yatul dan adik-adiknya menghadiri wisuda teristimewa karena ada bapak. Kebahagiaan itu sekaligus ketidaktahuan kita bahwa pertemuan malam itu adalah terakhir kalinya.

Bagian ini yang saya sangat senang betapa beliau masih sempat banyolan (ngelucu) walaupun soal tema kematian. Kata beliau, "Mati ya tinggal klesek bae, da kabeh ge bakal ditonggoni kang kuasa" di sinilah ibu yang paling khawatir seraya menepuk pundak bapak. Setahu saya ibu selalu memanggil beliau Aa. Sebagai pengkaji tasawuf tentu saya paham apa yang dilontarkan beliau tak lain sebagai posisi maqam (kedudukan) di sisi Allah. Saya justru belajar dari beliau tentang arti kepasrahan dan bahwa rasa sakit adalah modal untuk bersua Allah. Bahwa sabar dan ikhlas itu juga memiliki ujian. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Kini beliau telah berpulang seraya meninggalkan jejak teladan. Saat ini kita sebagai generasi penerus dapat warisan berupa semangat, ilmu dan kesederhanaan dari beliau. Sugeng tindak bapak, semoga kita bersua lagi cepat atau lambat. Lahul fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/1/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...